Thursday, December 21, 2017

Manajemen Lintas Budaya - Bab 11 - Mengelola Dunia yang Tidak Sempurna



Bab 11
Mengelola Dunia yang Tidak Sempurna
Standar etika berlaku bagi manusia, bukan untuk organisasi. Pada kenyatannya, organisasi tidak memiliki standar etika; hanya anggotanya seperti eksekutif, manajer, dan karyawan yang menentukan bagaimana sebuah perusahaan akan bertindak secara etis serta bertanggung jawab pada kondisi tertentu dan penentuan ini tergantung pada siapa yang melihatnya. Standar etika seringkali tidak berbentuk (tidak jelas), kontradiktif, dan semu, namun manfaatnya terhadap masyarakat lokal di seluruh dunia dapat dirasakan.
Sebagai contoh yaitu tantangan yang dihadapi oleh industri minyak dalam menjalankan bisnisnya di Nigeria. Ekonom global dan pengamat politik telah mahfum bahwa Nigeria memiliki dua hal yang sangat mudah ditemukan di sana: minyak dan korupsi. Menurut majalah The Economist, Nigeria adalah salah satu negara paling korup di dunia. Penyuapan sudah sangat umum terjadi bahkan orang Nigeria memiliki istilah khusus untuk tindakan ini yaitu “chopping”. Jika demikian kenyataannya, lalu bagaimana caranya perusahaan-perusahaan global dapat mengakses cadangan minyak Nigeria yang melimpah untuk memenuhi permintaan dunia? Tentunya dengan tindakan suap. Perusahaan-perusahaan yang menolak untuk mengikuti (membayar) aturan lokal ini terancam didepak dari pasar yang menguntungkan ini (bahkan tidak dapat membeli). Namun apa yang akan terjadi apabila sebuah perusahaan terikat oleh hukum negara asalnya untuk tidak terlibat pada bentuk penyuapan apapun?
Kondisi seperti inilah yang dihadapi oleh perusahaan Halliburton asal Houston yang pada saat itu melakukan upaya untuk menjalin kontrak pengembangan proyek gas alam di Nigeria. Pada tahun 2004, pemertinah Perancis dan AS secara bertahap melakukan investigasi untuk mengetahui apakah konsorsium minyak yang dipimpin oleh Halliburton melakukan suap sebesar USD 180 juta dan tindakan ilegal lainnya untuk mengamankan kontrak. Jika terbukti bersalah, Halliburton beserta karyawannya dapat dinyatakan bersalah atas pelanggaran terhadap larangan praktik korupsi di luar negeri (FCPA), yaitu hukum yang melarang perusahaan-perusahaan AS atau karyawannya untuk melakukan segala bentuk pembayaran ilegal demi kepentingan bisnis. Hukuman yang diberikan meliputi denda yang sangat tinggi dan masa tahanan. CEO Halliburton yang pada awalnya menolak untuk berkomentar terhadap tuduhan ini, kemudian mengaku dengan dalih bahwa hal ini (dan tuduhan mengenai sanksiperdagang AS terhadap Iran) adalah dampak dari pandangan bias perseorangan yang cenderung bertentangan dengan perusahaan. Dia menambahkan bahwa Halliburton memenangkan kontrak ini karena “apa yang kami tahu, bukan siapa yang kami kenal”. Kemudian perusahaan ini mengakui “ada pembayaran yang kami berikan kepada pejabat Nigeria”. Pada tahun 2009 sebulan setelah mantan wakil presidan AS Dick Cheney (mantan CEO Halliburton) meninggalkan kantornya, perusahaan ini dinyatakan bersalah atas pelanggaran peraturan FCPA dengan melakukan penyuapan terhadap pejabat pemerintah Nigeria untuk mengamankan kontrak senilai 6 Juta USD. Selain diharuskan membayar denda yang sangat besar, Halliburton juga sepakat untuk melakukan peninjauan dari pengawas independen dan melaporkan rencana masa depan perusahaan kepada FCPA. Yang mencurigakan adalah bahwa tidak seorangpun dibawa ke pengadilan pada saat sang wakil presiden menjabat.
Kasus ini menggambarkan dilema yang sangat mendasar dalam bisnis internasional. Jika sebuah perusahaan terikat pada hukum larangan korupsi di negara asalnya yang mana hukum ini tidak mengikat perusahaan dari negara lainnya, bagaimana mungkin perusahaan ini mampu berkompetisi dalam lingkungan yang kental dengan korupsi? Bagaimana caranya memperbaiki kondisi ini? Dan juga bagaimana mendefinisikan (lalu mengimplementasikan) standar etika yang tepat dalam dunia yang sangat rumit, kompleks dan multibudaya seperti sekarang ini? Pertanyaan inilah yang menjadi tantangan hukum, politik dan etika yang dihadapi bisnis global pada masa kini.
A.    Aturan-aturan dalam Permainan
Banyak pihak yang mengungkapkan bahwa dalam sebuah dunia yang sempurna (termasuk dunia bisnis global), hanya akan ada sedikit konflik, tidak ada korupsi dan adanya keadilan untuk semuanya. Perusahaan-perusahaan beserta para manajernya akan berusaha mencapai kompromi dan keuntungan bersama serta akan memastikan bahwa semua pemangku kepentingan (bukan hanya pemilik saham) mendapatkan manfaat bersama. Keadilan dan kesetaraan akan tercipta dan semua pihak akan mempertahankan tindakan-tindakan yang bertanggung jawab sesuai standar etika. Meskipun semua orang berharap akan terciptanya dunia yang sempurna, menciptakan kondisi yang demikian bagi sebagian besar orang adalah hal yang tidak mungkin. Mengapa demikian? Kemiskinan, perbedaan kelas, kompetisi kehidupan sosial, sistem politik dan sosial, ketidakadilan sosial, keserakahan, dan nasionalisme adalah beberapa alasan diantaranya. Kita hidup dan bekerja dalam sebuah dunia yang tidak sempurna karena manusia dan sistem sosial sangatlah beragam dan faktor-faktor pendorong terutama di tingkat lokal sangat beragam. Kita akan mendalami hal ini lebih jauh.
                Sebuah penjelasan yang relatif optimis mengenai mengapa kita tidak hidup di dunia yang sempurna dapat dilihat dalam penelitian yang mengemukakan bahwa kemiskinan dan korupsi akan berjalan bersamaan; korupsi, penyuapan, kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial dapat dengan mudah ditemukan di negara-negara miskin yang memiliki sumber daya sosial dan kesempatan pendidikan yang rendah. Oleh karena itulah, kita dapat lebih mudah menemukan korupsi di Nigeria dibandingkan di Finlandia. Banyak orang yang tinggal di negara miskin cenderung lebih memikirkan bagaimana cara untuk tetap bertahan hidup dibandingkan cara untuk mencapai kesuksesan, sehingga standar etika yang lebih tinggi seringkali dianggap sebagai atribut kemewahan yang tidak dapat dicapai. Pandangan ini bersifat optimistis karena implikasinya adalah perbaikan kondisi sosio-ekonomi yang terjadi di semua aspek akan mendekatkan kita ke dunia yang sempurna yang telah disebutkan sebelumnya. Dan pernyataan ini mengandung sejumlah kebenaran. Contohnya, sebagian besar orang akan cenderung menganggap - dan mungkin bahkan juga melakukan - bahwa pencurian makanan dilakukan oleh orang miskin yang kelaparan, bukan orang yang kaya, meskipun orang kaya juga sangat mungkin memiliki perilaku yang sama. (alasan inilah yang menyebabkan mengapa bintang film yang melakukan pencurian akan selalu menjadi berita utama). Meskipun demikian fakta bahwa kedua fenomena ini (korupsi dan kemiskinan) selalu saling berdampingan, tidak berarti bahwa keduanya memiliki hubungan sebab akibat. Para filsuf masih merenungkan bagaimana Holocaust terjadi di salah satu negara yang paling terindustrialisasi dan paling produktif (tanah paling terolah). Hal yang sama ditunjukkan oleh peringkat korupsi di berbagai negara yang sangat bervariasi bahkan diantara negara-negara miskin di kawasan geografis yang sama (seperti Indonesia dan Malaysia, Nigeria dan Kenya, Rusia dan Polandia). Oleh karena itu, hubungan sebab akibat yang mengaitkan keduanya korupsi dengan kemiskinan sangat sulit untuk ditemukan.
Di samping itu, ada pandangan yang relatif pesimis mengenai situasi ini yang menyatakan bahwa kita hidup di dunia yang tidak sempurna disebabkan oleh sifat alami manusia yang juga tidak sempurna. Misalnya saja keserakahan. Orang-orang tertentu cenderung memaksakan diri untuk memaksimalkan pendapatan mereka dan kepemilikan pribadi mereka dengan mengorbankan banyak hal lain. Dalam upaya pencapaian ini, standar etika seringkali diabaikan demi mendapatkan keuntungan. Penjelasan ini membantu kita memahami mengapa seseorang memiliki perilaku serakah, namun tidak dapat menjelaskan motif utama apa dibalik keserakahan tersebut. Obsesi untuk mengumpulkan uang dan kepemilikan yang lebih banyak bisa jadi justru menjadi topeng dari obsesi atas status atau keamanan. Pemaparan ini relevan untuk menjelaskan mengenai dunia yang semakin dekat pada kesempurnaan, karena apabila hanya mengandalkan obsesi yang dangkal dan mengabaikan obsesi yang lebih dalam tidak akan dapat membantu kita memahami isu / masalah yang sesungguhnya. Pesimisme awal dalam posisi ini, yaitu “apabila seseorang memiliki sifat serakah, kita tidak akan mampu mengubah hal itu” mungkin kemudian akan berubah menjadi posisi yang lebih diharapkan, karena kecemasan dan kebutuhan terhadap keamanan atau status lebih berhubungan pada bagaimana perasaan seseorang bukan pada bagaimana cara seseorang melakukan sesuatu, dan sebelumnya lebih lunak dari yang kemudian. Lebih dari itu, sebagaimana yang akan disadari oleh para pembaca, budaya berpengaruh besar terhadap bagaimana seseorang mendefinisikan keserakahan, keamanan atau status dan kita akan mempertimbangkan perbedaan ini pada saat berkompromi dengan etika bisnis atau perilaku manajemen lintas budaya.
                Selain optimisme dan pesimisme, ada pendapat ketiga yang menjelaskan hal ini yaitu yang didasarkan pada budaya. Misalnya saja, dalam masyarakat yang lebih kolektifistik, sebagian besar orang akan cenderung menginginkan bentuk egalitarianisme sosio-ekonomi, dimana pendapatan dan keuntungan secara kasar terbagi secara merata; tidak ada seorang pun yang terlalu kaya ataupun terlalu miskin, dan harmoni yang menjadi sasaran utama. Sebaliknya, dalam budaya yang cenderung lebih individualistik, orang-orang mempertanyakan keuntungan dari kompetisi antar individu, dengan kekuatan pasar yang berupaya menurunkan inefisiensi dan menurunkan biaya konsumen, dan atasan yang memberikan bonus bagi karyawan yang memiliki semangat yang lebih, inisiatif dan penguasaan yang lebih baik. Jika perspektif ini digunakan, pertanyaan kunci yang menjadi acuan adalah apa yang dimaksud dengan dunia yang sempurna, bukan mengenai bagaimana mencapainya. Dalam hubungannya dengan bisnis global, apakah dunia sempurna dicirikan dengan lingkungan dimana semua orang bermain dengan aturan yang sama di lapangan permainan ataukah lingkungan dimana semua orang (atau setidaknya setiap kelompok) menyusun aturan mereka sendiri? Dan apabila semua orang bermain dengan aturan yang sama, siapa yang akan membuat peraturan?
                Dibalik pertanyaan-pertanyaan yang tampak sederhana ini, ada berbagai masalah yang dihadapi, seperti berbagai jenis atau fokus dari konflik budaya. Salah satu yang menarik perhatian adalah konflik antar budaya yang membahas mengenai apa itu moral atau sanksi budaya dan apa makna dari legalitas. Apa yang akan terjadi, atau setidaknya seharusnya terjadi, apabila dua konsep utama ini (moral dan legalitas) bertentangan satu sama lain? Perhatikan contoh berikut ini: The Trique, sebuah komunitas asli di pedesaan Meksiko memiliki tradisi di mana orang tua menyusun rencana pernikahan untuk anak-anak mereka dan mereka melakukan hal ini pada saat anak-anaknya masih sangat muda. Mereka juga memiliki kebiasaan dimana keluarga sang pengantin laki-laki membayar keluarga pengantin perempuan dalam bentuk mahar, terutama untuk mengganti biaya upacara pernikahan. Kebiasaan ini dapat ditemukan di berbagai komunitas di seluruh dunia. Dalam sebuah keluarga yang memiliki kebiasaan seperti ini, Marcelino de Jesus Martinez menyusun rencana pernikahan anaknya yang bermur 14 tahun dengan anak lelaki tetangganya. Kedua anak muda ini pun sepakat untuk menikah. Di Meksiko, kebiasaan ini tidak istimewa karena merupakan budaya yang telah mengakar. Meskipun demikian, pernikahan ini tidak terjadi di Meksiko namun di sebuah komunitas pertanian di Greenfield dimana banyak petani Meksiko tinggal dan bekerja. Akibatnya, Martinez ditahan dengan tuduhan memaksa anak di bawah 16 tahun untuk berhubungan seksual dan mengabaikan serta mengancam kesehatan anak di bawah umur. Lebih parah lagi, ia juga dituduh menerima uang senilai US$ 16.000 sebagai ganti dari persetujuannya atas pernikahan ini, yang meskipun di Meksiko dianggap sebagai mahar, namun dianggap sebagai penarikan keuntungan finansial di California. Sebagaimana dicatat oleh penuntut dalam kasus ini, “Hal ini bukan merupakan kasus perdagangan manusia yang umum terjadi, karena tidak ada paksaan atas tindakan ini. Kami menyadari adanya permasalahan budaya dalam kasus ini, namun hukum negara lebih diutamakan daripada sensitivitas budaya.” Ironi kasus ini adalah bahwa hal ini tidak akan terjadi apabila Martinez tidak meminta bantuan polisi untuk memaksa si pengantin laki-laki membayar mahar.
B.    Sebab-sebab Konflik Antar Budaya
Filsuf Perancis Blaise Pascal dan William Norris yang mendirikan perusahaan Control Data Corporation, meskipun keduanya berasal dari dua periode waktu yang berbeda (dan dua pandangan yang sangat berbeda mengenai globalisasi) namun menghasilkan satu kesimpulan yang sama mengenai etika, dengan fokus yang berbeda. Pascal menggarisbawahi bahwa orang-orang dari dua budaya yang berbeda (dalam kasus ini Perancis dan Spanyol) melihat fakta yang ada di lapangan dengan cara yang berbeda. Kita dapat menafsirkan konflik hanya dengan melihat siapa yang benar atau yang salah, atau dengan mendalami dan mencoba memahami lebih dalam dasar-dasar yang digunakan dalam sudut pandang penentuan siapa yang benar atau salah.  Sederhananya, ketegangan inilah yang menjadi sebab konflik antar budaya: bagaimana mengungkapkan fakta yang sebenarnya terjadi dan menemukan kebenaran yang dapat kita terima. Pada saat yang bersamaan, Willian Norris menekankan bahwa perusahaan transnasional sangat terpengaruh oleh kondisi lokal dan kenyataan di lapangan, apapun kondisinya. Meskipun perusahaan-perusahaan ini dapat memilih untuk keluar dari negara tersebut, ada risiko yang harus ditanggung akibat pilihan ini, seperti biaya pemindahan. Oleh karena itu, pertanyaan yang perlu diajukan adalah bagaimana menjalankan sebuah perusahaan transnasional dengan efektif dan efisien yang mampu mengakomodasikan perbedaan secara simultan dengan kondisi di lapangan.
                Perbedaan antara pandangan Pascal dan Norris adalah bagaimana keduanya melihat persaingan. Pascal mengamati perbedaan dengan sudut pandang global (seluruh dunia) sedangkan Norris berfokus pada perbedaan perilaku. Keduanya (sudut pandang menyeluruh dan pendekatan perilaku) penting bagi manajer yang sedang menghadapi penyelesaian konflik. Pada kenyataannya, pada saat kita membahas mengenai konflik, perlu dicatat bahwa konflik lintas batas seringkali mencakup satu dari tiga isu berikut: Apa itu etika? Apa yang dimaksud dengan keadilan? Apa saja yang diperlukan perusahaan dalam melaksanakan tata laksana pengelolaan sumber daya yang baik? Tiga permasalahan di atas memerlukan perhatian yang khusus bukan hanya karena kaitannya dengan perilaku manajerial yang tepat namun juga karena pada akhirnya ketiga masalah inilah yang dapat menyebabkan sang manajer dan perusahaannya bangkrut apabila tidak dikelola dengan baik. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Norris, mengabaikan lingkungan tempat perusahaan berarti membahayakan perusahaan itu sendiri.
                Konflik budaya, seperti contoh yang telah diberikan di atas, memiliki berbagai ragam jenis yang berbeda. Contohnya yaitu diskusi dalam sebuah makan malam di London antara kelompok partner bisnis dari China, Perancis dan Ekuador. Pada saat ketiga kelompok tersebut memesan hidangan pembuka, mereka kemudian tidak mencapai kesepakatan mengenai menu yang akan dipesan seperti sup tikus, siput rebus atau semut goreng. Meskipun diskusi ini terlihat hidup hingga tampak seperti memenuhi ruangan dengan sanggahan mengenai apa yang akan dipesan, konflik yang sebenarnya bukanlah mengenai hidangan pembuka ini. Bayangkan saja bahwa si partner dari Perancis ini sangat menyukai semut goreng sehingga ia memutuskan untuk membuka restoran baru di sebuah desa nelayan bernama Argenton di sebuah teluk di Perancis. Yang mungkin terjadi adalah restoran barunya ini akan menghadapi perlawanan dari tetangganya yang asli dari daerah setempat (Breton); juga tantangan dari departemen kesehatan Perancis yang mengkhawatirkan keamanan makanan ini. Di satu pihak, perbedaan budaya dapat menjembatani berbagai macam selera yang berbeda dan praktik yang berbeda (apakah anda yakin bersedia makan semut goreng?). Selain itu, perbedaan ini juga dapat menjembatani berbagai hukum dan peraturan yang berbeda (apakah semut goreng itu aman?). Oleh karena itu, kita harus membedakan antara konflik yang membahas mengenai selera perseorangan dengan konflik yang berkaitan dengan perilaku etis yang dapat diterima dan hukum lokal atau persyaratan kebijakan.
                Untuk dapat melihat konflik antar budaya secara menyeluruh, kita perlu menambahkan kategori ketiga yaitu: kepercayaan dan nilai-nilai. Dengan masih melanjutkan cerita di atas, bayangkan bahwa ada sebuah budaya yang mempercayai bahwa tikus, siput dan semut berada dalam kelompok yang lebih tinggi yang kemudian makhluk-makhluk inilah yang membimbing leluhur manusia di kehidupan setelah kematian. Dalam konteks ini, memakan semut menjadi sebuah tindakan yang tidak hanya sekedar melampaui selera, praktek dan hukum namun juga melampaui konflik nilai. Pada tingkat inilah berbagai kepercayaan dan nilai-nilai saling bertabrakan.
Konflik Lintas Budaya
Budaya A
-Selera dan Acuan
-Peran etika vs. Persyaratan hukum
-Inti dari kepercayaan dan nilai-nilai

       Budaya B
-Selera dan Acuan
-Peran etika vs. Persyaratan hukum
-Inti dari kepercayaan dan nilai-nilai


                Oleh karena itu, dengan pemahaman bahwa konflik antar budaya dapat menjadi penghalang bagi bisnis global dan keberhasilan manajemen, kita dapat meringkas tantangan-tantangan ini menjadi tiga kategori yang berbeda yaitu:
Gambar 11.1 Sumber-sumber Konflik Lintas Budaya
1)     Penerimaan atau penolakan terhadap selera dan acuan yang berbeda. Konflik ini terjadi akibat perbedaan selera dan acuan yang digunakan oleh perseorangan atau kelompok satu sama lain. Setiap orang harus menentukan selera atau acuan yang mana yang dapat diterima atau ditoleransi. Meskipun demikian, keputusan ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan pihak-pihak yang terlibat dalam berkompromi.
2)     Acuan yang digunakan dalam penilaian etika atau persyaratan hukum. Konflik mengenai perbedaan pendapat terhadap definisi etika dan legalitas. Setiap orang harus memutuskan antara mengikuti naluri akal sehat mereka atau mengikuti hukum dan peraturan. Pengabaian terhadap moral atau hati nurani akan memunculkan implikasi moral sedangkan pelanggaran terhadap hukum akan menyebabkan si pelaku mendapatkan hukuman.
3)     Toleransi atau intoleransi terhadap kepercayaan dan nilai-nilai yang berbeda. Konflik antara kepercayaan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok tertentu dibandingkan dengan kelompok lain. Setiap orang harus menentukan seberapa toleran mereka dalam hubunagnnya dengan kepercayaan dan nilai-nilai pihak lain. Adakah ruang untuk kompromi atau tidak?
B.1. Konflik mengenai Selera dan Acuan
Orang-orang dari budaya yang berbeda tentu memiliki selera dan acuan yang berbeda pula. Dalam bentuk yang paling sederhana, selera dan acuan ini biasanya sangat pribadi dan subyektif sehingga sangat mudah diabaikan (seperti pilihan menjadi vegetarian). Sebagaimana yang diungkapkan oleh David Cooper berkaitan dengan selera, seseorang bisa secara sederhana setuju untuk tidak setuju. Meskipun demikian, apabila selera atau acuan ini mempengaruhi orang lain secara langsung (seperti seorang vegetarian yang menjadi agen penjualan produk daging namun menolak untuk mengonsumsi produk yang dijualnya bersama dengan klien atau pelanggan), masalah ini tentu tidak dapat diabaikan begitu saja. Dalam kasus seperti ini, kiat seringkali melihat adanya tekanan yang muncul dalam mencari cara penyelesaian masalah ini atau mengubah perilaku pribadi. Oleh karena itu, pemahaman mengenai bagaimana dan kapan harus mengabaikan strategi “sepakat untuk tidak sepakat” menjadi sangat penting.
                Misalnya saja dalam sebuah perusahaan berteknologi tinggi asal Belanda yang baru-baru ini dibeli oleh raksasa elektronik AS. Perusahaan ini ternyata tetap konsisten dengan tradisi Belandanya yaitu adanya persediaan kendaraan perusahaan bagi manajer tingkat menengah di perusahaan dengan tujuan untuk mengalihkan pajak pendapatan di Belanda yang sangat tinggi. Di mata karyawannya, hal ini merupakan bagian dari paket kompensasi. Meskipun demikian, setelah akuisisi, petinggi perusahaan yang baru berupaya untuk menghapuskan kebijakan kendaraan bagi manajer ini karena kebijakan ini dianggap terlalu dermawan apabila menggunakan standar perusahaan induknya di AS. (akibat banyaknya pengunduran diri, pencabutan kebijakan ini dibatalkan). Contoh ini menggambarkan konflik dan tantangan yang dihadapi oleh para manajer di era global seperti sekarang ini. Hikmah dari masalah ini, petinggi di AS kemudian memberlakukan kesetaraan bagi karyawannya di kedua negara dengan cara yang berbeda karena pajak penghasilan di Belanda jauh lebih tinggi daripada di AS.
B.2. Konflik antara Etika dengan Hukum
Selama ribuan tahun, manusia telah berupaya keras untuk memisahkan cakupan hukum dan etika. Agar lebih mudah memahami hal ini, mari kita lihat peran agama dalam melakukan mediasi. Dalam doktrin Kristen, misalnya, hubungan sosial menekankan pada kebutuhan untuk memisahkan antara pemerintahan (yang dipegang oleh Kaisar) dari spiritualitas (yang dipegang oleh Tuhan). Agama dan filosofi yang lain pada umumnya tidak menjelaskan pemisahan keduanya dengan jelas. Misalnya saja, Konfusianisme (yang sebenarnya merupakan sistem etika sekuler, bukan agama) memandang kaisar dan pegawai negeri sebagai teladan utama bagi perilaku semua orang dan menyatakan bahwa hubungan sosial pada umumnya mencerminkan hubungan yang harus dibentuk antara pemimpin dengan yang dipimpin. Dalam kitab Weda yang menjadi pedoman bagi pemeluk agama Hindu, menugaskan kasra Ksatriya untuk mengelola militer dan pemerintahan. Islam yang menyatukan ruang pribadi dengan publik, meniadakan pemisahan antara pemimpin hukum dan keagamaan dalam hubungannya dengan masalah perbankan dan finansial dalam Islam.
                Seiring berjalannya waktu, doktrin dan praktik yang dianut dan dilaksanakan oleh berbagai kepercayaan ini semakin lama menunjukkan kecenderungan adanya pemisahan antara mana yang bersifat etika dan keagamaan dengan yang bersifat hukum, kecuali negara-negara Islam yang masih menerapkan peraturan hukum dan keagamaan (syariah). (Para filsuf Barat percaya bahwa tidak adanya pemisahan antara aspek hukum dengan etika/keagamaan di negara-negara Islam merupakan bagian dari proses menuju pemisahan keduanya. Sebagian besar penduduk negara-negara Islam tidak setuju dengan pandangan ini dan menganggap bahwa hipotesis tersebut merupakan upaya campur tangan Barat dalam mempengaruhi dasar-dasar tradisi dan kepercayaan Islam.)
                Implikasi praktis yang paling utama dari pemisahan antara aspek etika dengan hukum adalah bahwa satu-satunya parameter yang paling dasar dalam perilaku manusia ini (seperti tindak kejahatan terhadap masyarakat) diatur oleh hukum beserta sanksi yang diperlukan, sementara etika seringkali dianggap sebagai peraturan yang dibuat oleh seseorang secara individu atau kelompok dan tidak melibatkan campur tangan pemerintah (seperti kebebasan beragama).  Apabila dikotomi ini benar-benar berhasil secara praktis, akan muncul beberapa kontradiksi antara mandat hukum dan mandat etika, meskipun hal ini tidak selalu terjadi.
                Sekarang, mari kita ajukan beberapa pertanyaan menarik terkait permasalahan ini: Apa yang harus dilakukan seseorang (termasuk para manajer), apabila ia dihadapkan pada konflik antara kepercayaan atau etika di satu sisi dengan aturan hukum lokal di sisi lain? Ketika semua upaya yang memungkinkan gagal menyelesaikan konflik, penelitian menunjukkan bahwa di sebagian besar budaya, seringkali orang lebih memilih jalur etika dibandingkan hukum. Manusia akan cenderung mengikuti akal sehat mereka sebelum mengikuti aturan hukum. Hal ini bukan berarti bahwa mengikuti akal sehat adalah cara yang mudah. Pada kasus dimana aturan hukum dan moral saling bertentangan, apabila seseorang mengikuti akal sehat dan moral saja, ia justru menjerumuskan dirinya menuju hukuman secara legal. Meskipun demikian, sebagian besar budaya di dunia justru lebih menekankan pada pentingnya melakukan tindakan yang benar di atas tindakan hukum. Kondisi yang seperti inilah yang kemudian banyak memunculkan pahlawan (yang menekankan pada tindakan yang benar, bukan yang sesuai dengan aturan hukum) bagi warga setempat. Terlebih lagi, banyak perusahaan yang kemudian mendorong karyawannya untuk mematuhi doktrin ini.
                Contohnya, program pelatihan rumahan Motorola menyarankan manajer globalnya untuk memeriksa lebih dalam apakah konsekuensi dari penerapan aturan hukum di berbagai negara memungkinkan adanya pelanggaran aturan dasar hak asasi manusia atau perlindungan lingkungan, sebelum mengambil kebijakan tertentu. Alasan Motorola mungkin masuk akal bagi banyak orang, namun secara tak kasat mata didasarkan pada asumsi bahwa contoh kasus konflik antara aturan etika dan hukum hanya akan terjadi di luar negeri, bukan di AS. Pelatihan yang diberikan oleh Motorola terkait permasalahan ini terlalu minim sehingga tidak dapat menjangkau seluruh manajer lokalnya yang jumlahnya melimpah.
                Oleh karena itu, masyarakat lebih khawatir apabila yang dipertaruhkan adalam hukum negara asalnya dibandingkan hukum negara lain. Misalnya, pebisnis yang bepergian ke Iran akan cenderung berbohong kepada pihak yang berwenang di Iran mengenai pernah atau tidaknya ia mengunjungi Israel, karena hal ini secara otomatis akan menghambat mereka memasuki Iran. Namun apabila pebisnis yang sama ditanyai mengenai pelanggaran hukum imigrasi di negaranya sendiri, respon mereka menjadi lebih halus dan menunjukkan keengganan untuk melanggar hukum. Pertanyaan yang perlu diperhatikan oleh para manajer global adalah kapan dan dimana harus menempatkan keyakinan seseorang di atas hukum. Bukan merupakan pertanyaan yang mudah dijawab, oleh karena itu kami akan menjelaskannya lebih jauh selanjutnya.
B.3. Konflik mengenai Kepercayaan dan Nilai
Banyak manajer yang melihat konflik antar nilai sebagai hal yang wajar dan tidak dapat dihindari, sebagai akibat dari pertemuan berbagai macam budaya. Konflik yang demikian ini merupakan masalah yang penting namun relevansinya terkadang dilebih-lebihkan. Alasan pertama, banyak di antara konflik-konflik ini yang juga terjadi bahkan di dalam budaya itu sendiri terutama budaya yang memiliki kebanggaan sebagai hasil dari penyatuan berbagai sudut pandang juga sebuah budaya yang sangat menghargai keanekaragaman. Kedua, kita telah mahfum bahwa dibalik konflik antar nilai dari budaya-budaya yang berbeda terdapat konflik yang sesungguhnya yaitu mengenai praktik yang akan dilakukan yang sebenarnya berasal dari nilai-nilai yang sama  dan tidak saling bertentangan. Ketiga, pertemuan lintas budaya bukan hanya merupakan hasil dari pertentangan antar nilai, namun juga hasil dari pemisalan dimana nilai yang berlaku di satu kebudayaan juga berlaku di kebudayaan yang lainnya, yang pada akhirnya tidak akan memunculkan konflik namun justru keinginan untuk memperkuat nilai tersebut. Dan yang terakhir, pakar antropologi secara konsisten menekankan bahwa dengan memasuki budaya lain, kesadaran dan pemahaman seseorang mengenai nilai dan praktek yang dimiliki di budayanya sendiri akan meningkat, yang sebelumnya diabaikan.
                Masalah utama yang kemudian perlu dibahas adalah harmonisasi dan pertimbangan antara berbagai nilai dalam sebuah kebudayaan. Tidak semua nilai diperlukan setiap saat, dan beberapa nilai seringkali tidak mudah diterima serta diterapkan secara berkelanjutan. Di satu sisi, sebagai akibat dari meningkatnya tekanan globalisasi, berbagai kebudayaan tidak serta merta mengakomodasi nilai dari luar menjadi bagian dari budaya namun cenderung mempertimbangkan dan mengombinasikan nilai-nilai ini untuk tujuan tertentu dengan praktek yang khas. Di lain pihak, dengan adanya percampuran antar budaya, pertentangan antar nilai ini menjadi lebih rawan terjadi di dalam kebudayaan itu sendiri daripada antar budaya. Penelitian yang baru-baru ini dilakukan mengenai peran seorang pemimpin etis yang dilakukan di beberapa kebudayaan misalnya, menghasilkan kesimpulan yang sangat membantu. Hal ini juga telah diungkapkan di bab 4 pada pembahasan mengenai apakah gaya manajemen dan pola bisnis akan mengerucut atau tidak di masa depan.
                Para peneliti di proyek GLOBE (dibahas di Bab 8) mengamati dukungan terhadap pemimpin etis di berbagai budaya dengan melakukan kajian terhadap pustaka etika dan kepemimpinan untuk menemukan atribut kunci yang menjadi ciri kepemimpinan etis. Atribut-atribut ini meliputi: karakter dan integritas; kesadaran etika; orientasi komunitas dan masyarakat; memotivasi, mendukung dan menyokong masyarakat; dan tanggung jawab etika. Dengan menggunakan data yang didapatkan dari GLOBE, mereka menyimpulkan 4 faktor yang sesuai dengan empat dari enam atribut yang didapatkan dari tinjauan pustaka, yang kemudian dinamai “karakter dan integritas”, “altruisme (kecenderungan untuk mengabaikan kepentingan pribadi demi kesejahteraan orang lain)”, “motivasi bersama”, dan “dorongan.” Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa dukungan terhadap keempat dimensi kepemimpinan etis tersebut berbeda di masing-masing negara yang diteliti. Meskipun demikian, karena dukungan rata-rata dari atribut ini melebihi rata-rata untuk semua dimensi, penulis menyimpulkan bahwa ada hubungan yang terbentuk dalam bentuk dukung terhadap komponen yang dimiliki dalam kepemimpinan etis. Penelitian ini menyatakan bahwa empat dimensi kepemimpinan etis mewakili prinsip-prinsip universal yang, meskipun semua budaya menghargai dimensi kepemimpinan etis yang umum diterima, memperbolehkan adanya perbedaan yang signifikan dalam pemberlakukannya.
                Untuk menggambarkan situasi ini, misalkan saja kita perhatikan faktor “karakter dan integritas” yang disebutkan dalam kajian GLOBE. Dimensi ini paling mendapat dukungan dari masyarakat di kawasan Eropa Nordik, dan paling rendah di kawasan Timur Tengah. Baik di negara-negara Nordik maupun Timur Tengah, penulisnya mengutarakan, penduduknya menghargai karakter dan integritas pemimpinnya namun memiliki peringkat yang sangat jauh dalam hal indeks korupsi (lihat tabel di bawah). Dalam dimensi altruisme, negara-negara Nordik Eropa menunjukkan dukungan yang paling rendah sedangkan Asia Tenggara mendapatkan peringkat paling tinggi. Ada yang berpendapat bahwa hal ini berkaitan dengan fakta yang menunjukkan bahwa orang-orang Asia Tenggara juga memiliki peringkat yang lebih tinggi dalam hal kebanggaan, kesetiaan dan kemanusiaan dibandingkan dengan masyarakat Nordik Eropa. Apapun alasannya, kesimpulan logis yang didapatkan pada pembahasan ini adalah bahwa nilai etika dan peran kepemimpinan yang diharapkan atau diterima memiliki keragaman yang cukup tinggi antar negara.
C.    Etika, Hukum dan Pengendalian Sosial: Sebuah Model
Etika, konflik dan budaya merupakan tiga kata yang paling rumit dalam bahasa Inggris. Masing-masing konsep tersebut jelas namun juga kabur, dinamis dan statis, emosional dan obyektif. Apabila disandingkan bersamaan, akan menimbulkan kebingungan dan penolakan. Dan jika permasalahan etis dalam sebuah masyarakat yang homogen sudah rumit, bayangkan bagaimana tantangan ini kemudian apabila dihadapkan pada percampuran antara dua budaya atau lebih.
                Untuk memulai pembahasan mengenai konflik antar nilai ini, ada baiknya jika kita memisahkan mana yang merupakan kepercayaan dan nilai yang etis atau yang normatif dari persyaratan kelembagaan. Konflik etis merupakan ketidaksepakatan yang muncul antara dua orang (atau kelompok) atau lebih yang tidak setuju mengenai mana yang secara moral dan filosofis dapat diterima. Ketidaksepakatan ini seringkali diwujudkan dalam istilah benar dan salah, moral atau imoral, dan masing-masing kelompok harus menentukan keputusannya sendiri di antara dua kutub tersebut. Berbuat curang dalam pajak pendapatan adalah salah satu contoh kasus yang dapat menggambarkan permasalahan ini. Pada kenyataannya ada masyarakat percaya bahwa seseorang yang tidak mampu membayar bagiannya dalam perusahaan atau pajak pribadi dianggap melakukan pencurian dana masyarakat dan secara moral dianggap tercela, sedangkan masyarakat yang lainnya (dan beberapa orang dari masyarakat sebelumnya) hanya membayar kewajiban pajak mereka seadanya dan mengakui (dan kadang mendukung) upaya untuk mengurangi atau menghapuskan beban finansial semacam ini. Sebagai contoh, pada tahun 2008 sebuah kota di Italia secara tidak sengaja memublikasikan daftar pajaknya di sebuah situs sehingga semua orang bisa melihat pajak apa saja yang dibayar oleh setiap penduduknya. Sebuah ledakan kemarahan moral terjadi, dengan kondisi yang membingungkan dan mengundang keingintahuan: separuh dari penduduk kota marah dengan alasan moral karena banyak penduduk lain yang terang-terangan menghindari kewajiban pajak mereka, sedangkan separuh yang lain marah karena kesalahan pemerintah kota yang lalai dan secara tidak sengaja menghina penduduknya yang tidak membayar pajak. Siapa yang lebih bermoral dalam kasus ini?
                Sebaliknya, konflik kelembagaan menunjukkan perbedaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan legal atau konsisten dengan kebijakan publik yang ditentukan secara sah. Perbedaan yang paling mendasar dalam kasus ini adalah, apabila konflik etis berfokus pada definisi moral, maka konflik institusional berfokus pada apa yang dimaksud dengan absah secara hukum. Misalnya, banyak pemerintah yang mengadopsi hukum perlindungan konsumen untuk melindungi penduduknya dari produk yang tidak sehat, tidak aman atau diproduksi dengan metode yang buruk. Sedangkan pemerintah lainnya cenderung mengambil pendekatan yang menekankan pada asas non-intervensi (atau caveat emptor – ‘biarkan pembelinya yang mengawasi’). Dan masih banyak lagi hukum yang ada dalam kitab hukum namun jarang sekali ditegakkan. Selain membuat hukum, pemerintah beserta departemennya menyepakati pembuatan berbagai macam kebijakan publik yang didesain untuk kepentingan bersama. Contohnya, departemen-departemen dalam pemerintahan mengeluarkan peraturan, rekomendasi, atau sasaran pada isu yang terkait dengan kebijakan sosial (seperti emisi kendaraan, gas rumah kaca, dan pembangunan berkelanjutan). Beberapa kebijakan publik ini memiliki bermacam cara penegakan (biasanya lunak) sedangkan yang lain ditegakkan oleh tekanan sosial.
Persyaratan Kelembagaan (hukum dan peraturan)
Hukum, peraturan dan kebijakan publik yang bertujuan untuk memperkuat nilai-nilai dan kepercayaan masyarakat sehingga dapat digunakan untuk menyusun standar dan mengendalikan perilaku

Sasaran: Pengendalian Sosial, Stabilitas dan Keberlanjutan
Menggalakkan pemikiran dan tindakan yang “benar” yang konsisten dengan kebutuhan, keperccayaan dan nilai-nilai masyarakat. Memperkuat pemikiran yang diharapkanoleh masyarakat beserta tindakannya melalui sanksi hukum maupun sosial
Kepercayaan dan Nilai-nilai Normatif (filosofi moral dan etika)
Kepercayaan, norma, dan nilai-nilai masyarakat yang mendukung dan memperkuat apa yang dianggap dapat diterima secara moral maupun etika


Pengaruh Normatif terhadap persyaratan kelembagaan

                Gambar 11.2 Kepercayaan Normatif, Persyaratan Kelembagaan dan Pengendalian Sosial
Yang menarik dalam pembahasan ini adalah banyaknya persyaratan kelembagaan (seperti hukum dan peraturan) yang diimplementasikan untuk memperkuat kepercayaan normatif (moral) masyarakat. Misalnya, norma sosial atau kepercayaan keagamaan melarang tindak pencurian, hukum kemudian ditegakkan untuk mendukung hal ini sehingga tindakan ini dianggap ilegal. Akibatnya, kepercayaan normatif dan peraturan kelembagaan cenderung sangat berkorelasi, terutama dalam masyarakat yang komposisi penduduknya homogen. Bahkan di beberapa kebudayaan, persyaratan hukum berhubungan langsung dengan kepercayaan keagamaan (seperti syariah Islam yang seringkali didefinisikan sebagai sebuah sistem hukum ketuhanan yang mengatur kepercayaan sekaligus praktek kehidupan sehari-hari). Apa yang dimaksud dengan dengan moral atau legal dalam suatu masyarakat seringkali dimaknai secara berbeda dalam masyarakat berbeda pula. Contohnya di beberapa negara Barat yang menganggap bahwa perdagangan dengan pihak dalam (dimana karyawan perusahaan dan kerabatnya yang dekat dengan pimpinan perusahaan menggunakan informasi penting yang tidak tersedia secara terbuka untuk pemegang saham yang lainnya untuk menjual atau membeli saham sebelum berita yang merugikan dan tidak diharapkan disebar ke media) tidaklah etis dan ilegal, beberapa pihak menganggap perilaku ini tidak dapat terelakkan (seperti pertanyaan, bagaimana mungkin masyarakat berharap ada pemimpin perusahaan yang tidak memertimbangkan masa depan perusahaannya?) dan oleh karena itu tidak berupaya untuk melarangnya.
D.   Konflik Etis dan Tantangannya
Setiap hari, manajer di seluruh dunia dihadapkan pada konflik moral atau etis yang berkaitan dengan kepercayaan serta nilai-nilai baik individu maupun masyarakat. Isu konflik yang dipermasalahkan meliputi norma masyarakat secara umum mengenai apa yang benar dan salah, juga mengenai kepercayaan keagamaan seperti apa yang seharusnya dilakukan atau apa yang wajib dilakukan. Sebagaimana yang terjadi dengan teori manajemen pada umumnya, sebagian besar dari tulisan yang dijadikan pustaka dalam etika bisnis dan manajerial dikembangkan oleh para ilmuwan Barat yang dididik dalam tradisi pemikiran Barat dengan melihat kondisi yang terjadi pada pembuat kebijakan di Barat dalam melakukan pengelolaan di lingkungan yang cenderung kebarat-baratan. Upaya untuk memperluas analisis, meskipun hanya dengan menggabungkan ketegangan yang dihadapi oleh orang Barat dalam interaksinya dengan non-Barat, hanya terbatas pada tingkat perkembangan yang sangat rendah. Dari perspektif Barat, segalanya akan lebih sederhana apabila pendekatan Barat dalam melihat etika bisnis dijadikan mufakat bagi para ahli, namun bukan hal ini yang akan menjadi contoh kasus dalam pembahasan ini. Karya para penulis dan filsuf masa kini yang membahas etika bisnis dan manajerial kebanyakan mengkaji dasar yang digunakan dalam berbagai mazhab pemikiran (Barat) dengan implikasi yang berbeda bahkan bertentangan dalam prakteknya, atau secara langsung melakukan pembahasan terhadap masalah tertentu dengan asumsi validitas tradisi pemikiran penulis tidak dapat dibantah. Meskipun pendekatan yang terbatas ini cukup menarik, namun masalah dan tantangan yang dihadap dalam konflik dan perilaku etis perlu ditangani dengan menggunakan perspektif global, bukan regional, apabila kita ingin mengembangkan pemahaman mengenai peran etika dalam perilaku manajerial.
Penulis yang membahas mengenai etika bisnis pada umumnya telah menyadari bahwa mereka secara konsisten memiliki pandangan yang sempit dengan mengabaikan tradisi budaya lainnya, meskipun mereka melakukannya dengan sadar. Tetapi, kasus ini jarang dibicarakan karena sebagian besar penulis menggunakan asumsi validitas universal dalam pendekatan mereka. Dengan demikian, sebagian besar penulis ini berasumsi bahwa etika bisnis merupakan fenomena universal sehingga tantangan yang dihadapi dalam bidang ini menurut mereka adalah masih banyaknya kesatuan nilai-nilai dan norma sosial yang belum ditemukan (juga belum banyak diajarkan) yang dapat digunakan dalam melihat berbagai fenomena. Jelas, pendekatan ini sangat naif dan tidak memuaskan sebagaimana yang dipahami oleh sebagian besar pemimpin perusahaan global.
D.1. Tingkat Pemahaman Konflik Etika Lintas Budaya
Sebelum menginjak ke pembahasan selanjutnya, perlu kiranya memastikan tiga hal yang berhubungan dengan tingkat pemahaman kita terhadap proses konflik lintas budaya (lihat gambar 11.3): apa yang dimaksud dengan konsep nilai “universal” yang berhubungan dengan perilaku etis? Bagaimana hubungan saling mempengaruhi antara prinsip-prinsip dengan kenyataan dalam konflik etis lintas budaya? Bagaimana cara nilai-nilai etika organisasi dan individu berhubungan satu sama lain dan dengan tindakan manajerial yang lain? Apabila diperhatikan secara bersamaan, ketiga faktor ini dapat membantu kita untuk memahami mengapa konflik lintas budaya yang begitu rumit dan menantang terjadi terutama bagi orang-orang yang mencoba untuk melakukan hal yang benar.
Level 1: Makna nilai “Universal”
Gambar 11.3 Tingkat Pemahaman Konflik Etika Lintas Budaya
Level 2: Hubungan antara prinsip dengan praktek
 
Level 3: Konflik etika dalam dan antar organisasi

Level 1: Apa makna dari nilai-nilai “universal”?
Tujuan dan fungsi etika pada dasarnya selalu berubah sesuai dimensi ruang dan waktu. Konsep seperti benar dan salah pun selalu memiliki penafsiran yang beragam di berbagai budaya yang berbeda, bahkan dalam satu budaya yang sama pada periode waktu yang berbeda. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pola berpikir kita dalam melihat evolusi pemikiran manusia mengenai apa itu benar atau salah dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda, dalam hal pola kita memaknainya atau, sebaliknya, apakah tidak ada pola perubahan pada tujuan etika yang teridentifikasi dengan menggunakan dasar geografis dan waktu. Bahkan, tanpa memerhatikan bagaimana etika manusia berperilaku, setiap generasi seringkali melihat dirinya sendiri sebagai generasi yang lebih maju dibandingkan pendahulunya dalam hal ketepatan, kelengkapan dan keabsahan dari kesadaran dan pemahaman etika mereka. Ketika kita berbicara bagaimana masyarakat menjawab pertanyaan mendasar dalam kehidupan kita, hanya sedikit orang (atau jika mungkin memang ada) yang bersedia meninggalkan kemajuan intelektual budaya yang telah dicapai oleh leluhur mereka. Misalnya, siapa yang benar-benar ingin kembali ke masa dimana seorang manusia memiliki orang lain, ketika wanita tidak diizinkan untuk mengekspresikan diri mereka dalam kehidupan sosial, ketika kepedulian terhadap lingkungan tidak terpikirkan sama sekali oleh siapapun, atau ketika “nyawa dibalas dengan nyawa” menjadi cara yang paling canggih untuk melakukan pembalasan? Lagipula, hal ini tidak berarti bahwa masyarakat sekarang berperilaku lebih baik daripada masa lalu. Pada kondisi dimana masyarakat dari budaya yang berbeda menganggap pendapat ini masuk akal dan dapat diterapkan dalam tadisi mereka, kita dapat menyimpulkan bahwa nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang diterapkan tersebut memang bersifat universal. Meskipun demikian dengan mengesampingkan perkiraan dari keberlanjutan kemajuan standar etika, dapat dikatakan bahwa tidak ada standar etika apapun yang berlaku di suatu tradisi tertentu pada saat tertentu yang bisa dianggap universal untuk jangka panjang. Jika hal tersebut dapat dilakukan, itu berarti kita menghilangkan kemungkinan adanya perkembangan standar melewati batas ruang dan waktu.
Singkatnya, manusia dan budaya berubah berdasarkan dimensi ruang dan waktu, seiring dengan perubahan nilai-nilai dan kepercayaan etika mereka. Pada waktu tertentu nilai-nilai ini seringkali berlaku melintasi batas budaya. Hal ini dapat dilihat pada kepercayaan bahwa “seseorang harus menghargai tetanganya” atau “melindungi yang lemah” yang dapat ditemukan di berbagai pustaka seperti injil, dharma, al-qur’an, purana, dan talmud. Meskipun demikian kecenderungan ini kemudian menghilang sebagaimana yang terjadi dengan kasus hak-hak wanita (apakah wanita harus mendapatkan hak-hak yang setara? Apakah makna dari kesetaraan? Apakah setara itu lebih baik dari pada berbeda?), memperkuat pernyataan bahwa nilai-nilai etika tidak dapat dianggap universal pada dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Jika hal ini benar adanya, maka para manajer global akan hidup dalam dunia yang pararel yang berisi nilai-nilai yang saling bertentangan dan berbagai bentuk perilaku yang dapat diterima.
Level 2: Apa hubungan antara prinsip-prinsip dan praktik di lapangan?
Permasalahan kedua yang memerlukan klarifikasi adalah hubungan antara prinsip-prinsip dan praktik di lapangan dalam hubungannya dengan konflik etika lintas budaya. Banyak orang yang percaya bahwa prinsip-prinsip yang bertentangan, bukan praktik-praktiknya, yang menjadi akar penyebab dari sebagian besar konflik. Seiring dengan pendapat tersebut, ada yang mengungkapkan bahwa apabila seseorang bisa mencapai kesepakatan mengenai prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi berbagai macam praktik di berbagai negara, kesepakatan ini akan memunculkan konsensus etika. Menurut pengalaman kami, yang berlaku adalah sebaliknya. Ketidaksepakatan terhadap praktik-praktik, bukan prinsip-prinsip, merupakan inti dari konflik etika yang paling kompleks.
Mari kita perhatikan contoh kasus Helliburton yang telah dibahas sebelumnya. Nilai-nilai yang berlaku di negara asal (dalam kasus ini AS) menekankan keengganan – dan pandangan immoral – untuk melakukan siap demi kepentingan bisnis. Hal ini menjelaskan kemarahan publik terhadap AS pada saat media massa lokal mengungkapkan apa yang dianggap sebagai perilaku yang tidak etis. Mesikpun demikian, media massa Nigeria tidak melaporkan peringatan yang senada. Mesikpun budaya Nigeria juga memiliki prinsip-prinsip yang mengatur mengenai perilaku etika, penerapan dari prinsip-prinsip ini -  dan juga praktiknya – seringkali berbeda. Di Nigeria, etika lebih banyak membahas mengenai tanggung jawab untuk menyokong sebuah keluarga dan trah (dinasti keluarga), bukan mengenai cara seperti apa yang dilakukan untuk mendapatkan uang (benar atau salah). Bekerja dalam lingkungan yang melintasi batas budaya memerlukan penyesuaian kondisi lapangan yang tepat, bukan menekankanpada perilaku yang tidak biasa.
                Seorang ilmuwan dan sejarawan Yunani, Herodotus mengungkapkan: “Jika seseorang hendak memberikan tugas kepada semua orang di muka bumi untuk memilih kostum mana yang terbaik di antara semua kostum, masing-masing, dengan pertimbangan yang menyeluruh, akan memilih kostum yang berasal dari masyarakatnya sendiri, karena mereka percaya bahwa pakaian mereka adalah yang terbaik.” Ia menyarankan agar manusia tidak mencampuri kebiasaan dan jalan hidup orang lain sebagai cara yang paling dasar untuk, atau setidaknya meminimalkan konflik. Meskipun demikian, apabila tindakan ini tidak dapat dilakukan, alternatif yang terbaik adalah dengan fokus pada apa yang telah disepakati dimana kesamaan antar budaya dapat ditemukan. Dengan berfokus pada kesepakatan yang dibuat, bukan pada praktek yang dipermasalahkan, kemungkinan manajer dapat mengarahkan perhatian pada bagaimana membentuk praktek-praktek atau cara yang dapat diterima oleh kedua pihak yang didasarkan pada prinsip bersama.
Level 3: Bagaimana Menyelesaikan Konflik Etika Dalam dan Antar Organisasi?
Yang terakhir, kita perlu membedakan fokus konflik etika lintas budaya yang tergolong sebagai konflik antar organisasi atau konflik individu dengan organisasi. Pada umumnya, yang dihadapi adalah konflik mengenai posisi suatu perusahaan dan beberapa pihak luar seperti konsumen, pemasok, rekan kerja yang penting dan yang lainnya. Selain itu, konflik juga terjadi di lingkungan internal, antara nilai yang diterapkan di perusahaan dengan nilai perseorangan yang dianut oleh karyawannya. Contohnya, dilema yang dialami seorang apoteker yang tidak setuju untuk menjual obat-obatan yang didukung oleh atasannya, meskipun obat ini juga telah mendapatkan izin dari komunitas medis dan industri farmasi. Atau juga dilema karyawan Departemen Pertanian AS yang diminta untuk berpartisipasi dalam memromosikan ekspor tembakau ke luar negeri meskipun ia (bersama dengan pemerintahnya) menentang aktivitas merokok. (Pada kenyataannya, pemerintah AS memberikan subsidi untuk upaya pengurangan aktivitas merokok lokal dan program promosi ekspor tembakau). Konflik seperti ini sangat umum sehingga tidak dapat dihindari.
                Meskipun akan lebih mudah mengabaikan situasi ini dengan mengatakan bahwa perusahaan harus mengutamakan prinsip-prinsip mereka sebagai bagian dari budaya, visi dan misi mereka (dan jika karyawan tidak setuju dengan hal ini, mereka dipersilakan meninggalkan perusahaan), masalah yang terjadi seringkali tidak sesederhana ini. Nilai-nilai keorganisasian yang kontroversial tidak dapat diterima oleh karyawannya yang tidak sepakat dengan nilai ini, meskipun mereka bertindak seolah mereka sepakat. Di Jepang misalnya, sebagaimana yang dibahas di bab 6, melakukan atau mengatakan hal yang benar sesuai dengan apa yang diharapkan dari seseorang (tatemae) bisa jadi berbeda dengan apa yang cenderung diinginkan atau dipikirkan oleh seorang individu (hone). Oleh karena itu, upaya pemahaman konflik ini membutuhkan pemahaman yang baik mengenai siapa saja yang terlibat dalam konflik ini, juga peran mereka masing-masing (baik yang diharapkan dari seseorang maupun yang diinginkan oleh seseorang) dalam sebuah organisasi.
D.2. Upaya Pencarian Kebenaran
Konsultan komunikasi Richard Lewis menyatakan meskipun dengan nada bergurau, “bagi orang Jerman dan Finlandia, kebenaran adalah kebenaran. Di Jepang dan Inggris, mengungkapkan kebenaran itu bukan masalah asalkan tidak menimbulkan masalah. Di China, tidak ada kebenaran yang mutlak. Dan di Italia, kebenaran dapat ditawar.” Aktor Inggris Peter Ustinov pernah menyampaikan, juga dengan nada bergurau, “untuk mencapai kebenaran, orang Jerman akan menambahkan sesuatu, orang Perancis mengurangi sesuatu, dan orang British mengalihkan pembicaraan. Saya tidak membahas mengenai orang Amerika karena seringkali mereka membuat kesan seolah mereka sudah mengetahui kebenarannya.” Dengan asumsi bahwa pengamatan ini dilakukan dengan baik, dapat disimpulkan bahwa kebenaran benar-benar tergantung dari siapa yang melihatnya. Artinya, kebenaran bukan selalu berarti kebenaran. Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa pada titik tertentu, tidak ada suatu apapun yang bernilai universal dalam kebenaran.
                Untuk dapat memahami dampak budaya terhadap bagaimana seseorang memandang mana yang benar dan salah serta bagaimana mereka mencoba dan melogika tanggung jawab mereka terhadap diri sendiri maupun orang lain, kita perlu membagi pembahasan ini menjadi beberapa level. Yang pertama, budaya berpengaruh terhadap bagaimana sekelompok orang diperlakukan dengan cara yang berbeda berdasarkan latar belakang budaya mereka – yaitu dengan mempertanyakan “siapa” yang terlibat didalamnya, pihak mana saja yang mempengaruhinya dalam pertukaran etika dan pengaruh latar belakang budaya tersebut terhadap pertukaran yang dilakukan. Yang kedua, budaya juga dapat mempengaruhi apa yang dimaksud perilaku yang sopan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri dan orang lain – yang seringkali disebut dengan pertanyaan “apa.” Perbedaan ini perlu diperhatikan karena manajer global yang gagal memahami perbedaan ini seringkali menganggap perilaku yang wajar sebagai perilaku yang tidak etis sehingga memicu konflik dan ketegangan dalam hubungannya dengan orang lain.
Level 1: Penerapan Peraturan yang Universal atau Fleksibel
Level2: Perilaku yang secara Etis Pantas terhadap Orang Lain

Gambar 11.4 Universalisme, Partikularisme dan Kebenaran
Level 1: Apakah Kita Harus Memperlakukan Semua Orang dengan Standar yang Sama atau Berbeda?
Jawaban dari pertanyaan “siapa” secara langsung berhubungan dengan pandangan budaya asal orang tersebut mengenai partikularisme dan universalisme. Konflik ini dapat dijelaskan melalui konfrontasi antara pejalan kaki dengan pengemudi. Bayangkan saja anda sedang mengendarai mobil yang dikemudikan oleh rekan anda dan ia menabrak seorang pejalan kaki. Anda mengetahui bahwa ia melaju terlalu kencang di jalan yang mengharuskan kecepatan rendah. Anda juga menyadari bahwa tidak ada seorang saksi lain pun dan pengacara teman anda meminta anda untuk bersumpah bahwa ia melaju tak terlalu kencang dan sesuai batas kecepatan. Tentunya jika anda dengan jujur mengakui kecepatan kendaraan pada saat terjadi kecelakaan, teman anda akan menghadapi konsekuensi hukum yang berat. Apa yang akan anda lakukan?
                Pada saat dihadapkan pada dilemma seperti ini, orang-orang dari budaya partikularistik dan universalistik akan berperilaku dengan cara yang berbeda. (Ingat bagian Bab 3 yang menyatakan bahwa budaya yang universalistik – yang didasarkan pada peraturan – percaya bahwa semua orang bertanggung jawab untuk mematuhi aturan yang sama dengan setara sedangkan budaya partikularistik – atau yang didasarkan pada hubungan – akan memberikan pengecualian untuk peraturan-peraturan yang didasarkan pada kedekatan hubungan personal atau situasi khusus.) Pada kasus yang umum terjadi, separuh dari manajer yang memiliki budaya universalistik akan cenderung menyatakan bahwa hubungan pertemanan keduanya tidak seharusnya mempengaruhi keputusan, obyektivitas harus didahulukan dan anda harus bersumpah melawan teman anda. Separuh sisanya akan mencoba lari dari masalah ini, bukan menyelesaikan masalah, dengan menolak untuk bersumpah dan tidak membuat pernyataan apapun. Keputusan ini tentu tidak mudah bagi mereka, karena mereka menyadari bahwa mereka gagal menggabungkan tugas utamanya sebagai teman maupun dalam administrasi keadilan, namun mereka memandang hal ini sebagai keputusan yang tidak lebih sulit secara moral daripada harus berbohong atau menjerumuskan seorang rekan sendiri ke dalam penjara. Budaya universalistik melihat bahwa sistem yang menggunakan asumsi bahwa manusia akan mengungkapkan kebenaran (yang tentu akan dilakukan dalam kondisi yang biasa) atau tidak melakukan sumpah palsu, sebagai suatu sistem yang lebih masuk akal. Mereka jelas akan menolak sistem dimana manusia bisa seenaknya memilih kebenaran atau mengarang cerita bohong, karena mereka percaya bahwa sebagai akibat tindakan tersebut, kehidupan mereka akan menjadi jauh lebih kacau dan tidak nyaman. Dengan kata lain, mereka membutuhkan perkiraan dunia mereka, namun memilih untuk tidak ikut serta dalam dunia itu sendiri.
                Pada kasus yang sama, manajer yang memiliki budaya partikularistik merespon skenario ini dengan cara yang sangat berbeda. Mereka kemudian terbagi menjadi dua kubu yaitu yang menyatakan bahwa mereka akan berbohong demi kawannya dan separuh yang lain meminta informasi tambahan sebelum membuat keputusan. Menariknya mereka tidak berupaya untuk menghindari sumpah sebagai cara untuk lepas dari dilemma sebagaimana yang dilakukan oleh para universalis. Tindakan ini bukan merupakan pilihan bagi partikularis karena mereka dari awal hanya peduli dengan kesejahteraan rekannya juga karena mereka merasa seolah mereka tidak seharusnya menghindar dari kesempatan memberikan kontribusi dalam menciptakan keadilan.
                Oleh karena itu, universalis akan berupaya untuk menekankan norma dan nilai obyektif serta perkiraan yang tepat sedangkan partikularis akan cenderung mengutamakan hubungan personal, subyektif dan ambiguitas. Kedua keputusan ini pada hakikatnya etis sekaligus tidak etis, meskipun jelas keduanya saling bertentangan satu sama lain. Penilaian kinerja suatu organisasi misalnya, dapat dilakukan dengan cara yang obyektif dengan standar yang telah ditentukan sebelumnya bagi semua karyawan. Metode ini tentunya bersifat universalistik sebagaimana yang dilakukan di negara-negara Barat dan juga dalam buku-buku manajemen SDM. Dalam budaya lain seperti partikularistik, kondisi karyawan seperti latar belakang, masalah pribadi juga dipertimbangkan dalam memberikan penilaian kinerja dan perilaku. Sehingga, muncul berbagai pertanyaan seperti ini: Mengapa kita dianggap salah jika kita memberikan penghargaan dan hadiah bagi orang-orang yang telah bekerja dengan keras untuk mencapai hasil yang sama yang didapatkan rekan sederajat yang lain yang memiliki kemampuan lebih baik? Masalah ini sesungguhnya bukan mengenai siapa yang benar atau salah tetapi mengenai kerangka acuan apa yang digunakan dalam memperkirakan hal ini.
                Pilihan-pilihan keputusan ini hanya akan masuk akal dalam budaya mereka sendiri, bukan di budaya asing, tetapi hal ini bukan berarti keputusan ini tidak masuk akal. Pakar antropologi dari Universitas Columbi, Lawrence Rosen, memisalkan keadaan ini dalam budaya Barat dan negara-negara Islam dengan sistem hukum yang berlaku di masing-masing negara. Di Barat, properti secara hukum dilihat sebagai hak milik perseorangan (siapa yang memiliki tanah ini?) sehingga pandangannya bersifat obyektif. Sebaliknya, hukum Islam menyatakan bahwa properti perlu dilihat dalam hubungannya dengan orang lain (siapa yang berhubungan atau memerlukan tanah ini?) sehingga sifatnya subyektif.  Karena Islam tidak mengenal gagasan diri yang dapat dibagi, kekuasaan bersifat kelembagaan sekaligus personal, yang menyebabkan para hakim (juga manajer) diharapkan mengambil keputusan tanpa secara sadar mengesampingkan perasaan dan kecenderungan perilaku personal. Para hakim akan membuka batasan keterikatan hubungan kekerabatan seluas-luasnya untuk memastikan adanya hutang budi dari pihak-pihak yang saling bersengketa, sehingga mendorong piha tersebut untuk bernegosiasi dan mengambil keputusan berdasarkan asas kekeluargaan bukan berdasarkan penekanan pada hak-hak yang mereka tuntut. Hakim akan memperkirakan kehandalan saksi sesuai dengan sifatnya dan intensitas ikatan saksi, bukan pada obyektifitas mereka, dan para hakim akan mengecek fakta-fakta menurut penilaian orang tersebut dan apa yang terjadi di masa lalu, bukan dengan mengamati kondisi yang terjadi pada saat itu. Rosen juga menekankan bahwa karena jaringan dan hubungannya yang lebih luas, orang-orang yang berpendidikan dan yang lebih kaya memiliki standar hukum yang lebih tinggi dalam Islam. Bagi para manajer, kenampakan etika yang akan dihadapi juga demikian.  Kontrak bisnis sangat tergantung pada jaringan serta kontak personal dan kontrak bisnis juga bersifat sementara apabilan kondisnyanya berubah daam budaya yang partikularistik dibanding universalistik.
                Oleh karena itu, dari sudut pandang yang sepenuhnya obyektif, memperlakukan orang dengan “setara” tanpa memperhatikan siapa mereka (sebagaimana para universalis berpendapat) atau secara “berbeda” berdasarkan keanggotaan dalam suatu kelompok (sebagaimana pendapat partikularis) secara etika keduanya bersifat netral. Keduanya akan menjadi benar atau salah apabila kita menambahkan sistem nilai kita sendiri dalam penilaiannya.
Level 2: Perilaku seperti apa yang dianggap pantas?
Kita telah mempelajari bahwa dalam menganalisis pertukaran etika, kita perlu memperhatikan dari kelompok budaya saja pihak-pihak yang terlibat dalam pertukaran tersebut – atau yang disebut pertanyaan “siapa” – dan dampak dari asumsi dasar yang digunakan oleh universalis dan partikularis. Selain itu, kita perlu melihat bagaimana cara budaya memandang tuntutan etika dan implikasi dari cara-cara ini dalam manajemen internasional. Dengan kata lain, sekarang kita akan menuju pembahasan mengenai pertanyaan “apa.” Yaitu pertanyaan mengenai, bagaimana caranya budaya dapat mempengaruhi apa yang dianggap orang sebagai perilaku yang secara etika pantas atau dapat diterima terhadap diri mereka sendiri dan orang lain? Bagaimana seharusnya seseorang diperlakukan menurut sudut pandang etika yang pantas dari berbagai macam budaya?
                Dikatakan bahwa kebenaran merupakan korban yang pertama ketika terjadi konflik. Kita seringkali mendengar bahwa manajer mengeluh mengenai cabangnya di negara lain yang gagal menjalankan komitmen, tidak mampu menjelaskan sudut pandang mereka dalam masalah ini dan terkadang tidak mampu mengungkapkan kebenaran. Tentu dengan sudut pandang satu budaya tertentu, perilaku tersebut dapat dikatakan sebagai kebohongan. Pertanyaannya adalah perlukah kita memandang makna kebenaran dengan pendekatan budaya yang lain sebelum mengambil kesimpulan bahwa pihak tersebut telah berperilaku tidak etis?
                Banyak contoh yang membuktikan bahwa ketika seseorang mengatakan sesuatu yang menurutnya salah, penilaian ini sebenarnya didasarkan pada filter yang berbeda kognitif (yang dipengaruhi oleh budaya orang tersebut) dari apa yang dinilainya. Contoh ini bukan berarti menunjukkan adanya konflik etika, karena kasus yang sering terjadi adalah kesalahpahaman dan dapat dengan mudah diselesaikan ketika miskomunikasi terdeteksi dan diperbaiki. Pada kasus lain, salah satu pihak yang melakukan pertukaran nilai etika membuat suatu pernyataan yang secara formal tidak benar. Tentunya ketika kesalahaan ini ditemukan, pihak yang lain akan menuduh si pembicara tadi salah paham. Kita tidak akan membahas mengenai dari budaya mana si pembicara tadi berasal. Bahkan, kesalahpahaman mengenai kebenaran dapat ditemukan di semua budaya, dan sebagian besar budaya juga percaya bahwa kebohongan tidak sepatutnya diucapkan. Yang akan kita bahas di sini adalah adanya kesalahpahaman yang disengaja ketika dasar pemikiran budaya digunakan dalam menilai. Yaitu ketika satu pihak merasa tersinggung, pihak lain akan menganggap hal ini wajar dalam pertemuan berbagai nilai dan budaya. Kasus seperti ini seringkali diikuti oleh konflik yang serius.
                Perhatikan contoh berikut ini: seorang manajer HR keturunan China dalam sebuah perusahaan multinasional asal Amerika Latin yang berkedudukan di Shanghai mengatakan kepada salah satu penulis buku ini mengenai sulitnya meluruskan kebenaran dan kesalahpahaman antar karyawan asing di perusahaannya. Para karyawan asing ini akan mendekati manajer kemudian memohon cuti libur yang menurut manajer ini tidak perlu diambil terutama dalam hubungannya dengan jadwal kerja. Meskipun di negara asal para karyawan asing ini para manajer akan dengan mudah mengatakan tidak, di China hal ini dianggap kasar atau kurang pantas. Oleh karena itu, para manajer akan cenderung memberikan jawaban “akan saya pertimbangkan dan nanti saya kabari lagi.” Tentunya ada beberapa karyawan asing yang tidak memiliki pengalaman bahwa mereka menerima jawaban tidak dalam cara yang halus dan tidak membuat kedua pihak merasa malu. Mereka terus menunggu manajer member kabar dan karena kemudian hal ini tak pernah terjadi, mereka menganggap si manajer pembual dan mereka telah ditipu. Masalah yang terjadi disini bukan perkara makna global tentang kebenaran karena pada kenyataannya tidak ada karyawan China yang pernah salah memaknai jawaban dibalik respon yang terlihat normal tersebut. Di samping itu, juga tidak ada yang menyatakan perilaku yang di permukaan tampak menghindari dan non-verbal tersebut tidak jujur atau menyesatkan.
                Contoh lain di Eropa Timur dan Rusia yang dibahas oleh Eileen Morgan mengungkapkan bahwa sebagian konflik antara Barat dan beberapa negara bekas komunis bersumber dari kesalahpahaman mengenai konsep dan makna korupsi. Dalam sejarah bangsa Rusia, bisnis bukan merupakan konsep yang secara alami ada dalam bahasa mereka. Tidak ada satu kata pun dalam bahasa Rusia asli untuk merujuk pada aktifitas ini.  Kata ‘biznez’ yang kemudian menjadi bentuk penyesuaian kata ‘business’ dalam bahasa Rusia, masih membawa kelemahan budaya yang sangat kental dari zaman komunis dan masih dikaitkan dengan gagasan korupsi dan eksploitasi.  Tidak seperti orang Barat, orang Rusia memiliki pandangan etika yang berbeda m mengenai korupsi. Korupsi dipandang sebagai sebuah perilaku yang melembaga dan hirarkis yang disebabkan oleh kurangnya pengendalian individu. Etika, di sisi lain, dipandang sebagai serangkaian prinsip yang mengatur hubungan individu satu dengan yang lain. Oleh karena itu, korupsi dipandang sebagai tindakan dalam lingkungan kelembagaan yang, suka atau tidak suka, harus dilaksanakan. Perilaku individu tidak selalu mencerminkan adanya atau tidaknya korupsi. Pencurian seseorang dari orang lain dianggap sebagai pelanggaran terhadap etika namun tidak demikian adanya dengan korupsi. Implikasinya sangat signifikan.  Jika sebuah institusi secara sistematis berperilaku korup, maka perilaku individu yang melawan bisa dipastikan tidak akan bertahan lama. Bahkan ketika korupsi kemudian menjadi bagian dari lingkungan bisnis, konsep seperti perasaan bersalah dan malu kemudian akan dipandang sebelah mata karena keinginan untuk menghilangkan korupsi pun tidak ada. Ketika korupsi telah menjadi bagian dari lembaga, tindakan ini diharapkan akan muncul dalam aktivitas sehari-hari. Masalah yang kemudian terjadi adalah apabila semua pihak yang akan terlibat dalam kerjasama harus memahami pola ini termasuk para manajer global yang hanya memiliki sedikit pengalaman dengan budaya korupsi di kawasan ini.
                Selanjutnya, mari kita menengok masalah penyuapan (akan dibahas lebih rinci di bagian selanjutnya). Negara-negara Barat cenderung memandang penyuapan sebagai sebuah praktek yang tidak adil yang menghancurkan niat baik banyak pihak dalam melakukan transaksi bisnis internasional. Sebaliknya, bagi negara seperti Nigeria, penyuapan merupakan katalisator dalam hubungan bisnis, bukan penghambat, dan oleh karena itu tidak lagi dianggap negatif. Penyuapan juga dianggap wajar di berbagai negara, sebagai sebuah ciri lingkungan sosial seperti yang dijelaskan dalam contoh Rusia sebelumnya. Akibatnya, kita dapat dengan mudah memperkirakan bahwa akuntabilitas seseorang yang terbiasa melakukan tindakan demikian dipertanyakan oleh pelaku bisnis dengan budaya Barat.
                Beberapa pihak telah menyatakan bahwa masalah utama korupsi dan bentuk perilaku tak etis lainnya adalah bahwa tindakan tersebut menunjukkan kurangnya kehandalan dalam interaksi sosial. Hal ini bisa jadi mengandung kebenaran untuk beberapa kasus. Meskipun demikian, di tempat dimana korupsi telah menjadi bagian dari sistem, manusia seringkali justru mengharapkannya dan dampak negatifnya secara otomatis dapat dihapuskan. Sistem yang korup bukan berarti tidak dapat diandalkan, namun hanya korup. Dalam kondisi tersebut, banyak perusahaan yang menghindari lingkungan kerja yang demikian dan mencari pilihan lain atau partner lain yang lebih jujur. Hal ini dapat dimaklumi dan menjadi satu-satunya reaksi yang masuk akal bagi suatu sistem hukum yang melarang korupsi atau bagi para pengambil keputusan yang tidak ingin terlibat apa yang menurut mereka dianggap sebagai perilaku tak etis. Namun ada dampak yang mereka rasakan akibat tindakannya ini. Pertama, hanya pihak yang merasa mereka nyaman dalam kondisi yang korup yang dapat beroperasi sehingga melipatgandakan usaha yang harus diambil oleh pihak luar yang ingin masuk ke lingkungan tersebut dan mengubah situasi. Kedua,  apa yang akan terjadi dengan mereka yang tidak memiliki pilihan dan terpaksa hidup di lingkungan yang korup, seperti orang-orang yang hidup di lingkungan lokal negara tersebut? Bagaimana caranya bagi keluarga yang miskin yang terjebak dalam kondisi demikian bisa mendapatkan kesejahteraan, padahal hanya mereka yang cukup kaya untuk pergi dari negeri tersebut maka baru mereka dapat berperilaku sesuai etika?
E.    Tantangan dan Konflik Kelembagaan
Berbeda dengan konflik dan tantangan etika (seperti norma atau moral), konflik kelembagaan berfokus pada bagaimana manusia dan masyarakat memandang fungsi sosial dari hukum, peraturan dan kebijakan publik. Fokus yang akan kita bahas di sini adalah mengenai apa saja yang diprasyaratkan dalam hukum atau digalakkan oleh pemerintah dan organisasi antar pemerintah (seperti OECD, ILO dan PBB). Kebijakan-kebijakan ini berfokus pada apa yang benar secara hukum, bukan pada apa yang benar secara moral atau budaya. Maka pembahasan kali ini secara logis akan dimulai dengan melihat hukum nasional dan internasional serta pedoman kebijakan publik yang mempengaruhi perusahaan dan perilaku manajerial lintas batas.
                Sebagai respon terhadap pertumbuhan korupsi dalam bisnis dan politik yang melibatkan begitu banyak perusahaan di seluruh dunia, sejumlah pemerintah selama beberapa tahun terakhir ini mengembangkan – meskipun lambat – upaya untuk memberantas masalah korupsi dan penyuapan serta masalah keadilan lainnya. Salah satunya adalah Larangan Praktek Korupsi Luar Negeri AS (FCPA). Pada dasarnya, FCPA melarang perusahaan asal AS sekaligus karyawannya atau agennya melakukan praktek suap dalam bentuk apapun kepada lembaga pemerintahan mana pun untuk mengamankan atau menguasai bisnis. Secara spesifik, aturan ini melarang 5 kategori tindakan:
1.       Pembayaran terhadap pejabat asing, partai politik asing, atau calon pejabat asing, atau untuk tujuan mempengaruhi, semua tindakan atau keputusan untuk mendapatkan, menguasai atau membantu sebuah perusahaan mendapatkan usaha
2.       Menerima dana di luar perhitungan akuntansi atau dana pelicin
3.       Dengan sengaja membuat pertanyaan yang keliru dalam buku, rekaman dan dokumen pendukung catatan keuangan perusahaan seperti pembayaran jasa atau pembayaran pengeluaran
4.       Terlibat dalam pembuatan rekaman anggaran yang melebihi kenyataan, kurang atau praktek serupa dengan tujuan mempengaruhi transaksi atau pembayaran yang tidak semestinya yang menyebabkan pencatatan tidak akurat dalam buku perusahaan
5.       Melakukan pembayaran yang, baik sebagian maupun secara keseluruhan, digunakan untuk tujuan selain yang tertera dalam dokumen pendukung atau menyetujui tindakan pembayaran tersebut.
                Setelah aturan FCPA ini disetujui, banyak perusahaan di AS yang awalnya mengeluh dengan menyatakan bahwa hukum ini menempatkan mereka pada kerugian secara kompetitif dibandingkan negara lain dalam melakukan bisnis di negara-negara yang dikenal korup. Konflik ini dapat dituntaskan ketika OECD (yang tujuan utamanya adalah mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis pasar dan pembangunan di seluruh dunia) mengumpulkan anggotanya dan secara kolektif menyepakati standar mengenai definisi penyuapan dan pelarangan suap bagi pejabat asing dalam bisnis internasional.
                Meskipun pemerintah AS menganggap penyuapan dan korupsi sebagai tindakan yang tidak taat hukum namun OECD yang bermarkas di Paris menganggap tindakan keduanya sebagai tindakan yang tidak etis. Oleh karena itu, pedoman OECD berisi serangkaian pedoman normatif, yaitu aturan yang dilakukan secara sukarela, bagi manajer global dan perusahaannya yang bertujuan untuk mengembangkan ekonomi negara-negara yang kurang berkembang secara berkelanjutan sekaligus melindungi negara-negara tersebut dari eksploitasi oleh perusahaan-perusahaan besar dari negara-negara industri. Pedoman ini bertujuan untuk memastikan bahwa aktifitas operasional perusahaan-perusahaan ini dilaksanakan sejalan dengan kebijakan pemerintah di negara tersebut, untuk memperkuat andasan kepercayaan bersama antara perusahaan global dengan masyarakat lokal dimana perusahaan tersebut berada, untuk membantu memperbaiki iklim investasi asing, dan untuk meningkatkan kontribusi perusahaan-perusahaan global dalam pembangunan berkelanjutan.
                Meskipun perincian pedoman OECD terletak di Lampiran B, kita akan memfokuskan pembahasan pada tiga bagian dalam pedoman tersebut yang berhubungan dengan penyuapan dan korupsi, hubungan kerja dan tata laksana ramah lingkungan. Tiga isu ini merupakan tantangan utama yang dihadapi oleh manajer global setiap harinya. Masalahnya adalah sebagai berikut: sebagian besar filsuf moral, pakar etika bisnis, pelatih bisnis dan penulis lainnya yang berhubungan dengan etika manajemen menunjukkan pesan yang jelas bahwa pelanggaran terhadap standar etika dan praktek yang adil seperti yang tertera dalam pedoman OECD merupakan pelanggaran terhadap integritas moral yang tidak dapat dibenarkan sama sekali. Artinya, doktrin etika harus dipatuhi, titik. Meskipun demikian, sebagaimana ditulis oleh filsuf Inggris pada abad keduapuluh Alfred North Whitehead, manusia melihat segala sesuatu secara umum namun hidup dalam segala sesuatu yang rinci. Artinya, para penulis yang membahas mengenai etika manajerial dan perusahaan jarang sekali berhadapan dengan dilemma etika yang mereka tuliskan. Padahal tantangan tersebut sering dihadapi oleh para manajer yang berada di lokasi yang terkadang terisolasi dan budaya yang juga terisolasi, menghadapi konflik yang berhubungan dengan kebutuhan, permintaan, harapan dan hukum. Hal ini bukan hanya teoritis, namun sangat nyata dan pekerjaan mereka sangat tergantung hal tersebut.
                Para wisatawan yang berpengalaman mengungkapkan bahwa standar etika sangat bervariasi antara satu budaya dengan budaya lainnya, sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Kenyataannya ini memunculkan pertanyaan: siapa yang akan menentukan mana yang etis dan mana yang tidak? Fakta bahwa pedoman OECD disetujui oleh negara-negara industri (yang juga negara-negara kaya) bisa membantu kita memahami kenyataan ini.  Nigeria bukan merupakan salah satu negara menandatangani, kemungkinan besar karena Nigeria akan kehilangan pendapatan akibat pedoman ini. Singkatnya, menerapkan pedoman ini bisa jadi lebih sulit dari yang dibayangkan. Memang terdapat banyak tekanan baik dari pihak yang mendukung maupun menentang pedoman ini. Dan para global manajer terjebak di antara kedua pilihan tersebut. Hal ini bukan berarti bahwa keberadaan pedoman ini tidak dianggap sebagai kemajuan di bidang manajemen dan perdagangan internasional, namun hal ini menunjukkan tingginya tingkat kesulitan dalam melakukan bisnis di sebuah lingkungan yang jamak dan seringkali penuh dengan konflik.
                Kesimpulannya, terdapat beberapa hal yang perlu ditekankan. Sebagaimana ditulis sebelumnya, meskipun FCPA memiliki kekuatan hukum, OECD tidak memilikinya. Penegakan lax ini hanya menambah dilemma manajerial terhadap apa yang harus dilakukan. Dengan adanya sedikitnya hukuman dan tekanan kompetisi antar perusahaan sebagai dampaknya, tidak mengherankan bahwa sogokan dan korupsi – dengan definisi apapun – sangat lazim dilakukan. Dengan pemahaman terhadap masalah ini, mari kita mulai membahas mengenai penyuapan dan korupsi.
E.1. Penyuapan dan Korupsi
Alasan yang paling utama di balik banyaknya hukum dan peraturan yang mengatur perdagangan internasioanal adalah ketakutan – baik nyata maupun persepsi – bahwa beberapa perusahaan akan menggunakan taktik yang kotor (menurut definisi mereka) untuk mendapatkan keuntungan kompetitif atau untuk mengeksploitasi pihak lain. Sebagian besar masalah ini berwujud masalah korupsi dan penyuapan. Korupsi dan penyuapan bisa menjadi sebab utama sulitnya melakukan bisnis di negara lain, bukan hanya karena sifat alami tindakan ini yang tidak etis dan meningkatnya pengeluaran yang tidak dapat dibenarkan, namun juga karena hal ini menyebabkan ketidakpastian tindakan pemerintah atau kompetitor di masa depan. Beberapa organisasi telah berupaya mengklasifikasikan negara-negara berdasarkan tingkat dimana permasalahan korupsi menjadi masalah bagi bisnis internasional. Salah satunya yaitu Indeks Korupsi Politis, gambar 11.5. Dengan menggunakan indeks ini, negara-negara seperti Nigeria, Azerbaijan atau Venezuela (dengan skor kurang dari 2,5 dari 10) lebih cenderung melakukan korupsi dibandingkan Finlandia, Denmark dan Selandia Baru (dengan skor sekitar 9,5). Sebagaimana yang terjadi dengan semua jenis indeks, peringkat yang ditunjukkan bisa jadi tidak akurat dan berupaya menekankan pada perlunya investigasi lebih dalam sebelum membuat keputusan investasi. Bahkan, pemeringkatan seperti ini terkadang mengejutkan. Misalnya, meskipun banyak yang menganggap AS dan Kanada sebagai saudara yang sangat mirip, peringkat keduanya berbeda secara signifikan.
Negara
Indeks Korupsi
Negara
Indeks Korupsi
Negara
Indeks Korupsi
Argentina
2,8
Hungaria
4,9
Portugal
6,3
Australia
8,6
India
2,7
Rusia
2,7
Austria
7,8
Indonesia
3,1
Singapura
9,3
Azerbaijan
1,4
Irlandia
7,1
Slovakia
3,7
Belgia
7,1
Israel
7,3
Afrika Selatan
4,8
Brazil
4,0
Italia
5,2
Korea Selatan
4,5
Kanada
9,0
Jepang
7,1
Spanyol
7,1
Chile
7,5
Luksemburg
9,0
Swedia
9,3
China
3,5
Malaysia
4,9
Swiss
8,5
Kolombia
3,6
Meksiko
3,6
Taiwan
5,6
Ceko
3,7
Belanda
9,0
Thailand
3,2
Denmark
9,5
Selandia Baru
9,5
Turki
3,2
Finlandia
9,7
Nigeria
1,2
Inggris
8,7
Perancis
6,3
Norwegia
8,5
AS
7,7
Jerman
7,3
Filipina
2,6
Venezuela
2,5
Yunani
4,2
Polandia
4,0


Sumber: Data dari The Economist, Pocket World in Figures, London 2008. Catatan: skala ini berkisar pada angka 1,0 hingga 10,0 dimana 10,0 menunjukkan perilaku yang etis dan tidak korup.
Gambar 11.5 Indeks Korupsi di Berbagai Negara
                Keberadaan ekonomi bawah tanah di seluruh dunia semakin menyulitkan gambaran ini. Ekonomi bawah tanah adalah kegiatan ekonomi yang melibatkan transaksi bisnis yang tidak tercatat dalam buku. Tidak ada catatan publik, tidak membayar pajak dan tidak memperhatikan aspek hukum. Kegiatan ekonomi bawah tanah bervariasi dari pembayaran bagi pengasuh atau seseorang yang membantu merapikan rumput hingga pembelian persediaan untuk bisnis seseorang di luar jangkauan peraturan pemerintah atau yang tidak nampak. Ekonomi bawah tanah ini ada dimana-mana, namun sangat lazim di beberapa negara. Menurut The Economist, ekonomi bawah tanah di Amerika Serikat menyumabngakn kurang dari 10 % dari total PDB. Sebaliknya di Brazil, angkanya mencapai 40 juta dari total 170 juta angkatan kerja yang bekerja di sektor ekonomi bawah tanah. Perbedaan tersebut membawa implikasi yang jelas dalam berbisnis.
                Pedoman OECD menempatkan beberapa penekanan yang penting terkait korupsi dan penyuapan. Secara singkat, pedoman ini meliputi beberapa hal di bawah ini (lihat Lampiran B untuk perinciannya):
·         Manajer (beserta perusahaannya) tidak diperbolehkan melakukan pembayaran kepada pejabat publik dengan tujuan mengamankan kontrak.
·         Manajer hanya boleh memberikan gaji kepada agen dengan tujuan yang sah.
·         Manajer harus mengutamakan kesadaran dan kesukarelaan karyawan dalam memenuhi kebijakan perusahaan terkait penyuapan dan pemerasan.
·         Manajer harus mengadopsi sistem pengendalian manajemen yang menekan penyuapan dan praktek korupsi, serta mengadopsi praktek akuntansi dan audit untuk aspek finansial dan perpajakan yang mencegah adanya akun rahasia atau yang di luar buku.
·         Manajer tidak diperbolehkan memberikan kontribusi illegal untuk calon pejabat pemerintahan atau partai politik atau organisasi politik yang lain.
Apabila pedoman ini diikuti, kasus Halliburton mungkin akan berbeda hasilnya. Itulah mengapa kasus tersebut menjadi tidak dapat dijabarkan dengan jelas. Secara sederhana, para manajer di Halliburton – dan perusahaan pada umumnya – menghadapi sejumlah tekanan perlawanan yang menyebabkan kasus menjadi tidak jelas. Dapat dikatakan bahwa jawaban yang “benar” tergantung pada siapa yang melihatnya. Maksudnya, pada waktu tertentu, pertanyaan mengenai perilaku etis sangat bervariasi tergantung pada bagaimana masyarakat memahami situasi dimana potensi dilemma terjadi.
                Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memahami tekanan perlawanan yang dihadapi oleh para manajer adalah dengan menggunakan analisis tekanan lapangan, yaitu sebuah mekanisme yang secara sederhana mengidentifikasikan tekanan terhadap nilai-nilai, kepercayaan, perilaku atau tindakan. Analisis seperti ini dapat dipergunakan untuk memahami dilemma yang seringkali dihadapi oleh manajer-manajer global di lapangan. Sebagaimana dapat dilihat di gambar 11.6, keputusan yang dianggap etis (sebagaimana didefinisikan oleh satu budaya tertentu) seringkali disanggah dengan beberapa alasan sehingga menjadi sebuah keputusan yang tidak etis. Inilah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi para manajer global.
Tekanan/dukungan terhadap pedoman
-membangun reputasi perusahaan terkait kejujuran dan integritas
-menghindari hukuman akibat aktivitas illegal dari negara asal maupun lokal
-melindungi karyawan dari tekanan luar
-mengidentifikasikan perilaku illegal melalui pengawasan berkala
-mendukung pemerintah lokal yang bebas korupsi
Tekanan perlawanan terhadap pedoman OECD
-dapat mengancam kesempatan bisnis lokal yang baru akan muncul
-beresiko memunculkan aksi pembalasan dari pemerintah
-bisa jadi akan gagal dalam melindungi perusahaan dari tindakan korup oleh kompetitor
-dapat mengancam pendapatan dan keuntungan perusahaan
Pedoman anti penyuapan dan korupsi
-melarang penyuapan dan pembayaran illegal
-melawan korupsi secara terang-terangan
-menginformasikan kepada karyawan mengenai kebijakan anti korupsi
-mengawasi potensi korupsi dalam perusahaan
-melarang kontribusi terhadap kampanye lokal
Gambar 11.6 Tantangan Manajemen: pedoman anti penyuapan dan korupsi OECD






                Untuk proses kerjanya, mari kita misalkan sedang bekerja di perusahaan asal New York yang berupaya untuk memperkuat bisnisnya di pasar konsumen China yang sedang tumbuh pesat. Misalkan juga, promosi dan masa depan perusahaan sangat tergantung pada keberhasilan anda mengamankan transaksi dengan China ini. Anda juga menyadari bahwa pemerintah China memiliki peraturan yang longgar, inspeksi yang buruk dan penegakan prosedur yang rendah dalam proses produksi yang dilakukan seperti pembuatan mainan anak-anak, resep obat-obatan, permen, produk olahan susu, bahkan makanan anjing. Dan misalkan pula bahwa pemerintah negara anda secara konsisten menutup mata terhadap pelanggaran hak komsumen karena tidak ingin merusak hubungan dengan rekan dagang penting. Pertanyaannya: bagaimana upaya yang anda lakukan untuk mencapai sasaran perusahaan anda – dan juga tanggung jawab pribadi anda – untuk mengamankan transaksi perdagangan baru dengan China? Sejauh mana anda menentukan batasannya? Resiko apa yang dapat diambil dalam kasus ini? Dan apakah anda bersedia membahayakan pekerjaan anda dan menolak melakukan transaksi tersebut?
                Kesimpulan dari analisis ini yaitu bahwa para manajer harus mengingat dua hal terkait tantangan etika ini. Pertama, dengan nama dan bentuk yang berbeda, korupsi dapat ditemukan di berbagai belahan dunia dalam lingkungan politik dan bisnis global, karena hal ini bukan hanya terjadi di negara-negara miskin. Kedua, para manajer seringkali memiliki pilihan terhadap bagaimana mereka akan merespon korupsi. Di beberapa kasus, perusahaan bisa memilih untuk tidak terlibat dalam perilaku tersebut dan berpegang teguh terhadap aturan mereka atau melakukan bisnisnya di lokasi yang lain. Meskipun sikap ini akan menyebabkan kerugian jangka pendek, namun juga akan memberikan hasil jangka panjang. Yang perlu diperhatikan oleh para manajer dan perusahaannya adalah perlunya memahami untuk tujuan apa mereka melakukan bisnis dan tidak mengorbankan prinsip demi janji-janji jangka pendek.
E.2. Hubungan Kerja
Salah satu alasan mengapa perusahaan-perusahaan global membangun berbagai fasilitas di berbagai belahan dunia adalah untuk mengurangi biaya produksi. Pada umumnya yang ditekan adalah biaya untuk upah tenaga kerja. Selain itu, apakah perusahaan global memiliki kewajiban untuk memberikan buruh setempat hak-hak dan tunjangan buruh seperti yang diberikan kepada karyawannya di negara asalnya? Apa saja tunjangan dan hak-hak buruh yang diberikan dan bersifat universal bagi semua buruh tanpa memandang lokasi dan yang manakah hak dan tunjangan yang diberikan berdasarkan lokasinya? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mengacu pada bagian kedua pedoman OECD yang membahas mengenai hubungan kerja.
                Pedoman ini membahas mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap karyawan lokal. Menurut pedoman ini, berdasarkan kerangka hukum, peraturan, praktek penempatan tenaga kerja dan hubungan buruh yang berlaku, perusahaan global harus melaksanakan aturan-aturan di bawah ini (lihat Lampiran B):
·         Para manajer (beserta perusahaannya) harus menghargai hak-hak karyawannya untuk diwakilkan dalam serikat dagang dan organisasi buruh lainnya dan terlibat dalam negosiasi perencanaan.
·         Manajer harus melaksanakan standar penempatan kerja dan hubungan industri yang setara dengan standar bagi karyawan di negara lokasi.
·         Seoptimal mungkin, manajer harus melengkapi, melatih dan mempersiapkan peningkatan kualitas tenaga kerja lokal melalui kerja sama dengan perwakilan karyawan dan apabila memungkinkan juga dengan pemerintah yang berwenang.
·         Dalam mempertimbangkan perubahan yang akan menimbulkan dampak terhadap karyawannya, manajer harus memberikan pemberitahuan yang masuk akal kepada perwakilan karyawannya dan bekerja sama dengan mereka beserta pemerintah yang berwenang untuk melakukan mitigasi dampak merugikan seoptimal mungkin.
·         Manajer harus menerapkan kebijakan penempatan tenaga kerja termasuk penempatan kerja, pemecatan, pengupahan, kenaikan jabatan dan pelatihan tanpa diskriminasi.
·         Manajer tidak diperbolehkan mengancam akan memindahkan unit operasi atau karyawan dari negara asalnya dengan tujuan mempengaruhi negosiasi yang tidak wajar atau untuk menghindari pemberian hak membentuk organisasi.
·        
Pedoman Hubungan Kerja
-mendukung hak karyawan untuk diwakilkan dan tawar menawar kolektif
-mendukung standar kerja yang berlaku
-melatih tenaga kerja lokal
-memberikan pemberitahuan yang masuk akal terkait pemecatan atau penutupan pabrik
-mendukung kesempatan kerja yang setara
Dukungan terhadap pedoman OECD
-membangun reputasi perusahaan sebagai pengelola karyawan yang baik
-meningkatkan penerimaan dan kepemilikan karyawan
-membantu membangun tenaga kerja yang kompetitif melalui komitmen dan motivasi kepada perusahaan
-mengembangkan keahlian jangka panjang bagi karyawan
-menghindari tindakan hukum oleh karyawan atau pemerintah lokal

Tekanan perlawanan terhadap pedoman OECD
-menurunkan fleksibilitas kebijakan SDM perusahaan
-meningkatkan biaya pengeluaran untuk tenaga kerja
-menurunkan kendali atas upah dan kondisi kerja
-meningkatkan biaya produksi total
-beresiko kehilangan keuntungan kompetitif dalam pasar


Manajer harus memperbolehkan perwakilan yang dipilih dan disepakati untuk mengadakan negosiasi tawar-menawar kolektif dengan perwakilan-perwakilan manajer yang dipilih untuk membuat keputusan mengenai topik yang dibicarakan dalam negosiasi.
Gambar 11.7 Tantangan Manajemen: pedoman hubungan kerja dalam OECD
Terkait dengan penyuapan dan korupsi, terdapat beberapa tekanan baik yang mendukung maupun yang menentang pedoman OECD, seperti yang ditunjukkan di gambar 11.7. Pada kasus ini kita dapat melihat dengan jelas tantangan manajerial. Yang menarik adalah bahwa lokasi dimana kebijakan SDM ini diambil. Apakah di Berlin, Tokyo, atau New York, oleh pimpinan cabang perusahaan atau oleh manajer lokal dan regional yang cenderung lebih sensitif terhadap kondisi dan situasi setempat?
                Contoh penerapan yang baik dapat kita ambil dari kebijakan SDM Sony dan Samsung di pabrik perakitan elektronik di Thailand. Samsung menerapkan kebijakan SDM yang secara garis besar ditentukan di Tokyo dan memperlakukan karyawan lokal mereka sama seperti karyawan outsourcing sedangkan Samsung mengambil pendekatan lokal yang dibuat di Thailand dan memperlakukan karyawannya sebagaimana karyawan resmi Grup Samsung. Data penelitian yang dihasilkan menunjukkan bahwa komitmen karyawan, perilaku kerja, dan produktivitas karyawan Samsung lebih tinggi. Hal ini bukan berarti bahwa kita dapat mengambil kesimpulan universal, karena penerapan standar etika yang lebih baik tidak selalu berarti kinerja yang lebih baik. Namun kita kasus ini menggarisbawah pentingnya perhatian lokal manajer mengawasi dampak dari kebijakan SDM di perusahaan terkait dengan kondisi lokal.
E.3. Tata Laksana Lingkungan
Apa saja tanggung jawab perusahaan global terhadap masyarakat setempat dimana mereka melakukan bisnis? Apa saja tanggung jawab mereka dalam membantu pengembangan ekonomi lokal? Apa saja tanggung jawab mereka dalam perlindungan lingkungan? Apa saja tanggung jawab mereka dalam memfasilitasi keadilan sosial? Bidang-bidang umum inilah yang menjadi bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan dan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Mari kita mulai dengan melihat bagaimana dampak perusahaan global terhadap pembangunan ekonomi lokal, apakah negatif atau positif.
                Perusahaan-perusahaan global seringkali dikritik karena tidak sensitif terhadap kebutuhan lingkungan sehingga banyak perusahaan yang kemudian memilih untuk menempatkan pabriknya di negara yang memiliki hukum lingkungan dan pencemaran yang longgar seperti China dan Meksiko. Akibat kritik yang sama, banyak perusahaan yang menghabiskan anggaran setiap tahunnya untuk memperbaiki kondisi lingkungan, mengurangi pencemaran udara dan air. Contohnya adalah Dow Chemical yang dituduh bertanggung jawab untuk membersihkan limbah beracun di Eropa Timur. Daftar perusahaan yang bertanggung jawab atas kerusakaan lingkungan ternyata lebih panjang dari yang diperkirakan.
                Penelitian menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang membayar untuk dapat menjadi “hijau.” Maksudnya, perusahaan-perusahaan yang menerapkan tata laksana lingkungan dengan baik juga cenderung lebih menguntungkan daripada pesaingnya, terutama dalam industri yang dinamis. Temuan ini menunjukkan bahwa ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh manajer tanggung jawab sosial perusahaan untuk menggalakkan keberlanjutan dan kualitas lingkungan sebagai bagian dari strategi perusahaannya, bukan sebaliknya, dan memadukan perspektif lingkungan dan keberlanjutan ke dalam praktek bisnis yang kemudian dapat meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan.
                Pedoman OECD yang akan kita bahas kali ini adalah perlindungan terhadap lingkungan setempat dari produk dan praktek yang tidak aman dan membantu mitigasi kerusakaan yang terjadi. Perusahaan-perusahaan global, menurut hukum, peraturan, dan praktek administrasinya di berbagai negara dimana perusahan berada, diharuskan melakukan perhitungan dan perencanaan untuk melindungi lingkungan dan menghindari masalah kesehatan yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan. Secara spesifik, perusahaan-perusahaan baik domestik maupun multinasional diharuskan menerapkan aturan-aturan berikut ini (lihat Lampiran B):
·         Manajer (dan perusahaannya) harus memperkirakan dan memperhatikan dalam pembuatan keputusannya, konsekuensi lingkungan dan dampak kesehatan yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan dalam aktivitasnya.
·         Manajer harus bekerja sama dengan pihak yang berwenang dengan memberikan informasi yang cukup dan tepat terkait potensi dampak lingkungan dan dampak kesehatan yang terkait dengan lingkungan dalam semua aktivitasnya dan menyediakan pakar lingkungan yang relevan bagi perusahaan secara keseluruhan.
·         Manajer harus melakukan tindakan pencegahan yang tepat dalam aktivitas perusahaan untuk meminimalkan resiko kecelakaan dan kerusakan terhadap kesehatan serta lingkungan dan bekerja sama dalam mitigasi dampak merugikan.
Dukungan terhadap pedoman OECD
-mendukung tujuan tata laksana lingkungan perusahaan
-membangun citra tanggung jawab perusahaan di mata masyarakat setempat
-mendukung tujuan pembangunan ekonomi lokal dan keberlanjutan lokal
-menghindari tindakan hukum yang dapat diambil oleh pemerintah lokal, kelompok advokasi, dan konsumen.

Tekanan perlawanan terhadap pedoman OECD
-meningkatkan biaya pengeluaran untuk pengawasan dan pemenuhan standar
-meningkatkan jumlah laporan dan beban akuntabilitas perusahaan
-menurunkan efisiensi operasi setidaknya dalam jangka pendek
-menurunkan pendapatan dan keuntungan perusahaan


Pedoman Tata Laksana Lingkungan
-memperhatikan semua aktivitas yang berimplikasi terhadap kesehatan masyarakat mulai dari produksi, transportasi dan pembuangan sampah
-menyediakan informasi kepada pemerintah setempat mengenai dampak lingkungan aktivitas perusahaan
-melakukan tindakan pencegahan kecelakaan dan membantu mitigasi kerusakaan apabila terjadi

Gambar 11.8 Tantangan Manajemen: Pedoman Tata Laksana Lingkungan OECD
Sensitivitas lingkungan dan tanggung jawab sosial seringkali terancam oleh berbagai tekanan di luar kendali perusahaan, yang kemudian dapat menyebabkan niat baik menjadi mimpi buruk. Gambar 11.8 menunjukkan ancaman-ancaman ini. Salah satu kekurangan yang diakibatkan adalah meningkatnya biaya untuk pembuatan peraturan dan pelaporan. Dalam hal ini, niat baik pemerintah lokal – atau ketidakpercayaan merek terhadap perusahaan multinasional – telah menyebabkan perusahaan-perusahaan global angkat kaki dan memilih lokasi dimana peraturannya paling ringan. Hal ini bukan berarti bahwa perusahaan tersebut secara sosial tidak bertanggung jawab, namun banyak perusahaan yang berupaya melakukan hal yang benar (menurut definisi mereka sendiri) dan memandang bahwa peraturan yang berlebihan menyebabkan terbatasnya ruang gerak mereka untuk mencapai misi perusahaan. Dengan kata lain, tantangan yang mendasar dalam kasus ini adalah menyeimbangkan antara keuntungan bersama perusahaan dengan pemerintah lokal yaitu terciptanya lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi serta kembalinya modal investasi perusahaan. Tanpa kerjasama kedua belah pihak, kerjasama yang berhasil akan sulit dibentuk.
                Tekanan ini dapat dilihat dalam kasus Tata Motor India yang pada tahun 2008 memutuskan untuk membangun pabrik mobil untuk merakit Nano mereka yang baru. Nano didesain untuk menjadi mobil paling murah di dunia dan ditujukan untuk pasar negara berkembang. Dalam pencarian lokasi yang sesuai, Tata dibujuk oleh pejabat lokal untuk menempatkan pabrik senilai AS$300 juta di Singur, Benggala Barat. Fasilitas baru ini akan membantu merangsang pembangunan ekonomi di kawasan yang sangat miskin ini dengan membuka 10.000 lapangan kerja baru sekaligus 10.000 kesempatan kerja untuk pemasok lokal. Meskipun demikian, pada saat pabrik hampir selesai dibangun, petani setempat mulai menuntut perusahaan tersebut untuk pindah ke lokasi lain. Mereka menolak memberikan tanah garapan mereka yang telah turun temurun mendukung ekonomi lokal. Lebih dari itu, para petani bahkan mengaku bahwa pemerintah setempat memaksa mereka menjual tanahnya. Meskipun mendapatkan dukungan dari pemerintah dan memiliki reputasi sebagai perusahaan yang sadar kondisi sosial dan lingkungan, namun para petani masih terus melakukan protes. Akhirnya, Tata memutuskan untuk menutup pabriknya yang hampir selesai dan memindahkan semuanya ke Sanand (dekat Ahmedabad) di Propinsi Gujarat.
                Melihat pengalaman tersebut, pemimpin perusahaan, Ratan Tata mengungkapkan, “Kami telah kehilangan banyak waktu, sayang sekali, tapi saya pikir kami akan mampu menata apa yang perlu kami lakukan di tanah Gujarat.” Meskipun perusahaan memiliki kekuasaan, uang dan pengaruh untuk melanjutkan rencana awalnya, perhatiannya terhadap kondisi lingkungan lokal – dan politik – membuat mereka memikirkan kembali keputusan penempatan lokasinya. Akhirnya, Benggala Barat tetap menjadi kawasan pertanian (sebagaimana yang diprioritaskan oleh warga setempat), sedangkan Gujarat semakin mendekati ambisinya menjadi pemimpin pembangunan ekonomi India (yang juga merupakan prioritas warga setempat). Selain itu, meskipun kehilangan banyak uang dan waktu, Tata akan mendapatkan keuntungan jangka panjang pemindahan ini dalam bentuk dukungan masyarakat setempat.


Catatan Manajer

Mengelola Dunia yang Tidak Sempurna
Sebagian besar dari apa yang kita lakukan dan katakan selalu berhubungan dengan gagasan – dan juga kondisi ideal – dari benar dan salah, baik dan buruk, serta menang dan kalah, baik dalam urusan bisnis, kegiatan sosial, olahraga maupun kehidupan pribadi kita. Para manajer pun demikian, sebagaimana dapat kita lihat dalam kasus Halliburton di Nigeria. Contoh yang baik, yang mengecewakan dan terkadang perilaku manajerial yang benar-benar illegal dapat kita saksikan di semua lingkungan bisnis. Akibatnya, banyak pakar etika bisnis yang berpendapat bahwa semua perusahaan, terutama perusahaan global, membutuhkan panduan etika untuk membimbing tindakan organisasinya dengan cara yang sesuai dengan etika. Sedangkan yang lain justru berpendapat sebaliknya: tidak ada yang benar atau salah, hanya bagaimana pandangan orang yang melihatnya. Dikotomi pandangan ini menunjukkan bahwa baik konsep mengenai benar dan salah maupun adanya pandangan kebenaran universal di semua budaya, keduanya melekat dalam budaya dan oleh karena itu, setiap budaya sangat mungkin memahami keduanya dengan cara yang berbeda. Dimana posisi manajer global terdidik dalam hal ini? Kemungkinan di antara keduanya. Konflik ini mencerminkan esensi dari manajemen yang baik, secara lokal maupun nasional. Manajer harus secara konsisten bertindak meskipun tidak terdapat informasi yang cukup dan menghadapi hasil yang belum pasti. Meskipun demikian, mereka harus tetap bertindak dan mereka akan dinilai berdasarkan hasil yang mereka dapatkan. Oleh karena itu, dalam hal perilaku etika, manajer benar-benar membutuhkan panduan moral yang tidak sepihak dan terbuka.
                Bab ini tidak membahas mengenai dasar-dasar etika berbisnis secara umum namun pada etika bisnis tertentu yang berhubungan dengan manajer dan organisasi. Sayangnya, banyak pembahasan etika manajerial yang cenderung berfokus pada hal-hal yang negatif seperti pengkhianatan terhadap kepercayaan, pelanggaran etika atau hukum. Jarang sekali ada pembahasan yang bernada optims. Dengan menekankan pada aspek negatif (beberapa menyebutnya dengan istilah ‘kenyataan’), banyak manajer yang justru menghindar dari pembahasan tersebut bukan karena mereka tidak jujur namun karena mereka melihat pembahasan tersebut cenderung menekankan pada kesalahannya. Maksudnya, bagi para manajer, perilaku etis bukanlah batasan atau penurunan kekuatan namun juga bersifat normal dan menguatkan. Perilaku etis merupakan perwujudan yang terbaik dari semangat manusia, juga kesempatan bagi perusahaan dan manajer-manajernya untuk berkontribusi dengan cara yang positif untuk membentuk “kondisi peradaban manusia yang lebih baik” sebagaimana disampaikan oleh Prof. Robert House (lihat Bab 3).
                Telah jelas dalam pembahasan ini bahwa bekerja dalam budaya yang beranekaragam memungkinkan manajer memahami perspektif asing yang berbeda, juga praktek dan perilaku yang tidak jelas ketika masalah hanya dilihat dengan kacamata perspektif negara asal. Misalnya, agen penjualan asal Jepang yang bepergian ke Meksiko dapat mengamati bagaimana transaksi bisnis dilakukan dengan cara yang berbeda dengan yang dilakukan di negara asalnya. Ia akan melihat perilaku dan praktek yang tidak biasa – bahkan mungkin illegal atau tidak etis – dibandingkan dengan apa yang ia alami di negara asalnya (seperti pengumpulan uang suap secara terbuka atau mordida). Apa yang mungkin tidak mereka lihat adalah bahwa banyak orang Meksiko yang juga melihat perilaku aneh – dan mungkin juga tidak etis – pada saat mereka berkunjung ke Jepang atau negara lain (seperti amplop putih yang berisi uang tunai yang diberikan kepada manajer oleh kliennya). Dari kedua kasus ini, apakah uang tunai ini merupakan penyuapan, komisi, ucapan terima kasih, kebaikan atau yang lain? Pada kenyataannya, semakin sering manajer Meksiko dan Jepang ini bepergian ke negeri luar negeri, mereka akan semakin jelas melihat pola perilaku yang mereka pertanyakan – dan mereka kagumi – yang secara kolektif kemudian memperluas kapasitas mereka untuk memahami mana yang hanya sekedar tidak biasa atau berbeda dan mana yang benar-benar tidak etis.
                Membedakan antara selera dan preferensi pribadi, amanah hukum dan etika serta nilai-nilai dan kepercayaan menjadi penting dalam memahami konteks nasional dan internasional. Perbedaan tersebut tidak dapat akan dapat dilihat dalam konteks nasional dan tidak sejelas perbedaan yang dapat dilihat oleh para manajer lintas budaya. Misalnya, budaya islam yang membantu perpaduan bidang hukum dan etika – juga relijius. Yang bersifat keagamaan dan yang sekuler seringkali dipadukan. Manajer yang bekerja dalam kondisi seperti ini memandang kenyataan ini sebagai konteks atau latar belakang bagi bisnis mereka. Pada saat yang sama, manajer Barat pada umumnya bekerja dalam budaya yang berakar pada pemisahan kedua bidang ini (seperti pemisahan lembaga agama dengan negara). Akibatnya, pada umumnya manajer Barat akan dengan mudah melupakan proses sejarah yang menyebabkan pemisahan ini dan yang menjelaskan mengapa pemisahan tersebut terjadi. Seorang manajer Barat yang berkunjung ke Arab Saudi atau Iran akan melihat perbedaan in dan akan membantu menambah pengalamannya sebagai seorang manajer. Hal yang sama juga akan terjadi pada manajer Iran atau Arab Saudi yang berkunjung ke negara Barat. Kesimpulannya cukup sederhana: perjalanan atau kunjung adalah guru yang baik bagi manajer yang mau melihat, mendengar, berinteraksi, membandingkan dan belajar.
                Perbedaan perilaku manajerial lintas budaya ini lebih mudah dipahami ketika beberapa pengalaman pribadi yang dibahas sebelumnya, diterapkan. Misalnya, makna dan peran universal serta partikular kemungkinan tidak akan muncul dalam kondisi dimana manajer dan pembuat keputusan memiliki latar belakang pandangan budaya yang sama (seperti sekelompok manajer asal Thailand atau Ceko). Meskipun demikian, pemahaman mengenai apa yang penting atau intinya (atau universal) dan apa yang kurang penting atau bukan inti (atau partikular) justru sangat diperlukan dalam pembuatan keputusan etika dari perspektif sejarah atau temporal (gagasan mengenai etika abadi) juga dari perspektif spasial dan budaya.
                Tanpa kerangka budaya ini, pemahaman manajer mengenai mana yang universal dan mana yang partikular dalam etika tidak akan lengkap. Bahkan, dinamika universal-partikular yang hadir diantara budaya yang berbeda ini merupakan inti dari pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai siapa pihak utama yang terlibat dalam pertukaran etika dan bagaimana mereka harus diperlakukan. Kesimpulannya, keseluruhan dari perilaku etis dalam praktek korupsi dan penyuapan, hubungan kerja, transfer teknologi, tata laksana lingkungan dan praktek bisnis pada umumnya tidak akan muncul kecuali pada konteks dimana beragam budaya berinteraksi satu sama lain di lingkungan global
Mengelola dalam Tekanan Moral dan Etika
Dengan pemahaman ini, kita akan menutup pembahasan dengan memeriksa pelajaran manajerial yang dapat diambil baik dari perspektif kelembagaan maupun etika yang telah dibahas. Lebih spesifik lagi, apa yang dapat dipelajari oleh para manajer global untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam berperilaku dengan penuh tanggung jawab dalam dunia kerja? Menurut pembahasan, berdasarkan kepercayaan etika mereka dan toleransinya terhadap kepercayaan orang lain, manajer global dan perusahaannya memiliki tanggung jawab untuk bekerja dalam membentuk kesepahaman mengenai definisi perilaku etis lintas budaya dan bangsa. Dalam upaya mencapai hal ini, beberapa hal berikut ini akan berperan penting:
·         Memahami nilai dasar perusahaan. Perusahaan yang akan melebarkan sayap di berbagai negara dengan selera, praktek dan nilai yang berbeda, diharapkan berupaya maksimal untuk menjaga nilai kepercayaan perusahaan yang mengutamakan kesatuan dan kebersamaan, dan mengekspresikan keberagaman, pluralisme keanekaragaman dalam kinerjanya di berbagai negara. Perusahaan perlu memahami batasan dan tingkat fleksibilitasnya dalam melakukan bisnis di berbagai negara.
·         Memahami batas universalisme. Perasaan kesatuan dan kebersamaan lintas budaya dan rekan bisnis (dan mungkin juga harus) terletak pada apa yang dilihat dan bagaimana orang melihat dan memahami konsep universal pada waktu dan tempat yang berbeda. Apakah ada persetujuan antar pihak terkait mengenai kepercayaan dan nilai-nilai bersifat universal? Dan dapatkah semua pihak melakukan pendekatan mirip dengan universalisme yang tidak menggunakan asumsi bahwa apa yang dimaksud dengan universal telah didefinisikan dengan lengkap dan sempurna? Sebaliknya, apa yang dipandang universal pada umumnya mengalami perubahan (dan semoga semakin baik) seiring berjalannya waktu dan ditempat yang berbeda pula, dan manajer perlu membentuk universal yang tidak final namun terus menerus diperbaiki. Hal ini berarti fleksibilitas dan toleransi manajer merupakan kunci keberhasilan lintas batas. Manajer harus mengetahui bahwa meskipun semua partner memiliki prinsip yang bertentangan dengan pencurian perusahaan, misalnya, perspektif mereka mengenai definisi pencurian bisa jadi sangat bervariasi. Misalnya saja, apakah dapat disebut pencurian apabila membawa persediaan kantor yang sederhana ke rumah? Pertanyaan yang perlu diajukan para manajer adalah apakah hal ini dapat diterima atau sejauh mana tindakan ini dapat diterima.
·         Memahami konteks budaya yang mendasari perjanjian. Universal pada umumnya tidak memiliki keberlanjutan. Universal tidak  selalu tepat dan oleh karena itu membutuhkan penyesuaian dengan dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian, universal harus selalu disesuaikan dengan budaya dimana hal tersebut diterapkan. Memang universal tidak akan dipahami apabila dilepaskan dari konteks budaya. Oleh karena itu, dalam upaya untuk membuat kesepakatan mengenai standar atau prinsip universal, pemahaman mengenai beraneka ragam budaya sangat diperlukan. Tanpa pemahaman dan penghormatan terhadap keanekaragaman budaya ini, kesepakatan tidak akan dapat tercapai.
·         Memahami peran dan latar belakang suatu kelompok tertentu yang terlibat dalam sengketa. Mengidentifikasikan siapa saja yang terlibat dalam konflik masih belum cukup untuk mencapai resolusi konflik. Kita harus memahami peran dan latar belakang masing-masing pihak. Apa yang diharapkan perusahaan atau masyarakat dari mereka? Berapa banyak peluang yang mereka miliki dalam tawar menawar? Dan strategi resolusi konflik yang seperti apa yang dapat diambil? (Masalah ini dibahas dalam bab 10). Pengetahuan semacam ini menentukan dimana posisi masing-masing pihak dalam konflik dan bagaimana berkompromi dengan mereka secara efektif. Tindakan ini menuntut adanya kemampuan manajer untuk bernegosiasi dalam lingkungan yang partikularistik, bukan universalistik.
·         Memahami konteks atau dasar konflik. Kandungan atau isi dari pertukaran etika juga perlu memperhatikan perbedaan budaya bahkan pada fase pertukaran awal, ketika manusia mencoba untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Apa sebenarnya yang menjadi dasar dari konflik tersebut? Dasar-dasar ini seringkali tersembunyi di balik masalah yang lain – yang seringkali bukan masalah sebenarnya. Tanpa pengetahuan ini, kita hanya akan membuang-buang waktu membahas mengenai hal yang sebenarnya tidak menjadi masalah sementara akar konfliknya masih belum terjamah.
·         Memahami beragam jenis konflik budaya. Manajer harus mampu membedakan berbagai jenis konflik budaya dalam organisasi. Konflik mengenai selera dan praktek, sistem hukum, kepercayaan dan nilai-nilai tidak dapat disatukan ke dalam kategori yang sama. Konflik-konflik ini memerlukan pendekatan yang berbeda dalam penyelesaiannya.
Mengelola dengan Tekanan Hukum dan Kelembagaan
Sejak dikeluarkan, pedoman OECD telah terbukti menjadi acuan yang dihormati oleh berbagai perusahaan (lihat Lampiran B). Meskipun pedoman ini bersifat sukarela, pedoman ini memiliki bobot sebagai hasil dari rekomendasi bersama negara-negara OECD. Bersama dengan hukum nasional, pedoman ini menjadi bagian dari infrastruktur legal atau setidaknya semi-legal yang mendukung penerapan perilaku perusahaan global yang bertanggung jawab. Selain itu, bahasa pedoman ini juga telah mempengaruhi aturan pelaksanaan yang lain untuk perusahaan global seperti Deklarasi Tiga Pihak dalam ILO, serta Deklarasi dan Tata Laksana Perusahaan Transnasional PBB. Meskipun demikian, ada beberapa isu yang harus disadari oleh manajer global sebelum menghadapi situasi dimana pedoman menjadi beban:
·         Memahami peran utama pedoman kelembagaan. Telah diketahui bahwa terdapat banyak pedoman yang lain yang menekan aktivitas perusahaan-perusahaan, termasuk yang telah bersikap terbuka. Tentunya kemudian banyak pertanyaan yang muncul. Pertaman, apakah pantas bagi pemerintah suatu negara untuk berkumpul bersama merumuskan suatu pedoman ataukah lebih baik mengizinkan perusahaan mengembangkan pedoman mereka sendiri dengan batasan hukum nasional dan internasional? Kedua, pedoman OECD hanya merupakan sebuah pedoman yang tidak memiliki status hukum yang kuat. Jika pedoman ini penting bagi bisnis global, bukankah seharusnya dibuat suatu ketetapan dengan tujuan menegakkan aturan ini? Kalau tidak ada, lalu bagaimana ketetapan ini dapat ditegakkan?
·         Memahami keterbatasan pedoman kelembagaan. Kita telah berusaha untuk meninjau suatu pendekatan yang bertujuan untuk mendorong perilaku etika dan sosial yang bertanggung jawab perusahan global. Sebagaimana yang ditegaskan oleh negara-negara anggota OECD, hal ini bukanlah solusi yang sempurna melainkan langkah besar dalam memastikan tanggung jawab perusahaan dalam dunia yang sangat beragam dan penuh dengan kompetisi ini. Yang kemudian perlu dipertimbangkan adalah tingkat penerapan pedoman OECD di masing-masing negara. Hingga kini, respon negara-negara Eropa sangat positif, namun tidak demikian halnya dengan negara-negara lain.
·         Memahami kontroversi terkait pedoman kelembagaan. Sebagaimana instrumen hasil negosiasi internasional yang lain, pedoman ini terkadang mendapatkan kritik baik karena terlalu umum maupun terlalu rinci. Beberapa pihak berpendapat bahwa mereka tidak akan bertindak sejauh itu dalam memastikan perusahaan global bekerja sesuai hukum dan praktek nasional, sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa pedoman ini melebihi standar yang mereka miliki sehingga membatasi tujuan dan strategi bisnis yang sah. Debat yang lain membahas mengenai tindakan lanjutan dimana ada yang berpendapat bahwa perlu ada kelanjutan yang lebih kuat dan yang lain berpendapat bahwa hal ini terlalu yuridis.
·         Memahami ketegangan yang muncul akibat dorongan dan perlawanan terhadap “tindakan yang benar.” Dalam beragam situasi, kita sering mempertanyakan bagaimana caranya kita tahu mana yang benar yang harus dilakukan? Pedoman kelembagaan berupaya menentukan peraturan umum bagi semua orang. Meskipun demikian, dalam membuat serangkaian aturan, mengombinasikan perbedaan budaya tidaklah mudah. Sebagaimana yang terjadi dengan persyaratan hukum, pedoman seringkali cenderung membahas mengenai tindakan spesifik, padahal fleksibilitas sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, fakta bahwa hanya 30 negara yang meratifikasi pedoman OECD memunculkan pertanyaan mengapa negara lain harus repot-repot menerapkan aturan yang tidak berhubungan dengan peraturan dan perilaku setempat?
·         Memahami kapan konflik perlu diselesaikan. Apabila muncul masalah terkait pedoman ini, tanggung jawab penyelesaian terletak di pundak pemerintah negara dimana “perusahaan yang bermasalah” – sebuah istilah yang masih diperdebatkan – ini berasal. Oleh karena itu, efektivitas pedoman tergantung pada komitmen negara asal dan negara lokasi perusahaan terhadap prinsip-prinsip OECD, ILO dan seterusnya. Efektivitasnya sangat beragam dari satu negara dengan negara lain.
·         Memahami kurangnya pendidikan atau kesadaran pedoman kelembagaan dalam pelatihan manajer. Kesimpulannya, pedoman OECD jarang diajarkan atau bahkan disebutkan dalam sekolah bisnis, bahkan yang terbaik, di seluruh dunia. Mengapa demikian? Apa yang kita ajarkan pada generasi manajer masa depan terkait dengan pentingnya berperilaku dengan penuh tanggung jawab dalam transaksi global?

1 comment:

  1. ASSALAMUALAIKUM SAYA INGIN BERBAGI CARA SUKSES SAYA NGURUS IJAZAH saya atas nama bambang asal dari jawa timur sedikit saya ingin berbagi cerita masalah pengurusan ijazah saya yang kemarin hilang mulai dari ijazah SD sampai SMA, tapi alhamdulillah untung saja ada salah satu keluarga saya yang bekerja di salah satu dinas kabupaten di wilayah jawa timur dia memberikan petunjuk cara mengurus ijazah saya yang hilang, dia memberikan no hp BPK DR SUTANTO S.H, M.A beliau selaku kepala biro umum di kantor kemendikbud pusat jakarta nomor hp beliau 0823-5240-6469, alhamdulillah beliau betul betul bisa ngurusin masalah ijazah saya, alhamdulillah setelah saya tlp beliau di nomor hp 0823-5240-6469, saya di beri petunjuk untuk mempersiap'kan berkas yang di butuh'kan sama beliau dan hari itu juga saya langsun email berkas'nya dan saya juga langsung selesai'kan ADM'nya 50% dan sisa'nya langsun saya selesai'kan juga setelah ijazah saya sudah ke terima, alhamdulillah proses'nya sangat cepat hanya dalam 1 minggu berkas ijazah saya sudah ke terima.....alhamdulillah terima kasih kpd bpk DR SUTANTO S.H,M.A berkat bantuan bpk lamaran kerja saya sudah di terima, bagi saudara/i yang lagi bermasalah malah ijazah silah'kan hub beliau semoga beliau bisa bantu, dan ternyata juga beliau bisa bantu dengan menu di bawah ini wassalam.....

    1. Beliau bisa membantu anda yang kesulitan :
    – Ingin kuliah tapi gak ada waktu karena terbentur jam kerja
    – Ijazah hilang, rusak, dicuri, kebakaran dan kecelakaan faktor lain, dll.
    – Drop out takut dimarahin ortu
    – IPK jelek, ingin dibagusin
    – Biaya kuliah tinggi tapi ingin cepat kerja
    – Ijazah ditahan perusahaan tetapi ingin pindah ke perusahaan lain
    – Dll.
    2. PRODUK KAMI
    Semua ijazah DIPLOMA (D1,D2,D3) S/D
    SARJANA (S1, S2)..
    Hampir semua perguruan tinggi kami punya
    data basenya.
    UNIVERSITAS TARUMA NEGARA UNIVERSITAS MERCUBUANA
    UNIVERSITAS GAJAH MADA UNIVERSITAS ATMA JAYA
    UNIVERSITAS PANCASILA UNIVERSITAS MOETOPO
    UNIVERSITAS TERBUKA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
    UNIVERSITAS TRISAKTI UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
    UNIVERSITAS BUDI LIHUR ASMI
    UNIVERSITAS ILMUKOMPUTER UNIVERSITAS DIPONOGORO
    AKADEMI BAHASA ASING BINA SARANA INFORMATIKA
    UPN VETERAN AKADEMI PARIWISATA INDONESIA
    INSTITUT TEKHNOLOGI SERPONG STIE YPKP
    STIE SUKABUMI YAI
    ISTN STIE PERBANAS
    LIA / TOEFEL STIMIK SWADHARMA
    STIMIK UKRIDA
    UNIVERSITAS NASIONAL UNIVERSITAS JAKARTA
    UNIVERSITAS BUNG KARNO UNIVERSITAS PADJAJARAN
    UNIVERSITAS BOROBUDUR UNIVERSITAS INDONESIA
    UNIVERSITAS MUHAMMADYAH UNIVERSITAS BATAM
    UNIVERSITAS SAHID DLL

    3. DATA YANG DI BUTUHKAN
    Persyaratan untuk ijazah :
    1. Nama
    2. Tempat & tgl lahir
    3. foto ukuran 4 x 6 (bebas, rapi, dan usahakan berjas),semua data discan dan di email ke alamat email bpk sutantokemendikbud@gmail.com
    4. IPK yang di inginkan
    5. universitas yang di inginkan
    6. Jurusan yang di inginkan
    7. Tahun kelulusan yang di inginkan
    8. Nama dan alamat lengkap, serta no. telphone untuk pengiriman dokumen
    9. Di kirim ke alamat email: sutantokemendikbud@gmail.com berkas akan di tindak lanjuti akan setelah pembayaran 50% masuk
    10. Pembayaran lewat Transfer ke Rekening MANDIRI, BNI, BRI,
    11. PENGIRIMAN Dokumen Via JNE
    4. Biaya – Biaya
    • SD = Rp. 1.500.000
    • SMP = Rp. 2.000.000
    • SMA = Rp. 3.000.000
    • D3 = 6.000.000
    • S1 = 7.500.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
    • S2 = 12.000.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
    • S3 / Doktoral Rp. 24.000.000
    (kampus terkenal – wajib ikut kuliah beberapa bulan)
    • D3 Kebidanan / keperawatan Rp. 8.500.000
    (minimal sudah pernah kuliah di jurusan tersebut hingga semester 4)
    • Pindah jurusan/profesi dari Bidan/Perawat ke Dokter. Rp. 32.000.000

    ReplyDelete