Bab 11
Mengelola Dunia yang Tidak Sempurna
Standar etika berlaku bagi manusia, bukan untuk
organisasi. Pada kenyatannya, organisasi tidak memiliki standar etika; hanya
anggotanya seperti eksekutif, manajer, dan karyawan yang menentukan bagaimana
sebuah perusahaan akan bertindak secara etis serta bertanggung jawab pada
kondisi tertentu dan penentuan ini tergantung pada siapa yang melihatnya.
Standar etika seringkali tidak berbentuk (tidak jelas), kontradiktif, dan semu,
namun manfaatnya terhadap masyarakat lokal di seluruh dunia dapat dirasakan.
Sebagai contoh yaitu tantangan yang dihadapi
oleh industri minyak dalam menjalankan bisnisnya di Nigeria. Ekonom global dan
pengamat politik telah mahfum bahwa Nigeria memiliki dua hal yang sangat mudah
ditemukan di sana: minyak dan korupsi. Menurut majalah The Economist, Nigeria
adalah salah satu negara paling korup di dunia. Penyuapan sudah sangat umum
terjadi bahkan orang Nigeria memiliki istilah khusus untuk tindakan ini yaitu
“chopping”. Jika demikian kenyataannya, lalu bagaimana caranya
perusahaan-perusahaan global dapat mengakses cadangan minyak Nigeria yang
melimpah untuk memenuhi permintaan dunia? Tentunya dengan tindakan suap.
Perusahaan-perusahaan yang menolak untuk mengikuti (membayar) aturan lokal ini
terancam didepak dari pasar yang menguntungkan ini (bahkan tidak dapat membeli).
Namun apa yang akan terjadi apabila sebuah perusahaan terikat oleh hukum negara
asalnya untuk tidak terlibat pada bentuk penyuapan apapun?
Kondisi seperti inilah yang dihadapi oleh
perusahaan Halliburton asal Houston yang pada saat itu melakukan upaya untuk
menjalin kontrak pengembangan proyek gas alam di Nigeria. Pada tahun 2004,
pemertinah Perancis dan AS secara bertahap melakukan investigasi untuk
mengetahui apakah konsorsium minyak yang dipimpin oleh Halliburton melakukan
suap sebesar USD 180 juta dan tindakan ilegal lainnya untuk mengamankan
kontrak. Jika terbukti bersalah, Halliburton beserta karyawannya dapat
dinyatakan bersalah atas pelanggaran terhadap larangan praktik korupsi di luar
negeri (FCPA), yaitu hukum yang melarang perusahaan-perusahaan AS atau
karyawannya untuk melakukan segala bentuk pembayaran ilegal demi kepentingan
bisnis. Hukuman yang diberikan meliputi denda yang sangat tinggi dan masa
tahanan. CEO Halliburton yang pada awalnya menolak untuk berkomentar terhadap
tuduhan ini, kemudian mengaku dengan dalih bahwa hal ini (dan tuduhan mengenai
sanksiperdagang AS terhadap Iran) adalah dampak dari pandangan bias
perseorangan yang cenderung bertentangan dengan perusahaan. Dia menambahkan
bahwa Halliburton memenangkan kontrak ini karena “apa yang kami tahu, bukan
siapa yang kami kenal”. Kemudian perusahaan ini mengakui “ada pembayaran yang
kami berikan kepada pejabat Nigeria”. Pada tahun 2009 sebulan setelah mantan
wakil presidan AS Dick Cheney (mantan CEO Halliburton) meninggalkan kantornya,
perusahaan ini dinyatakan bersalah atas pelanggaran peraturan FCPA dengan
melakukan penyuapan terhadap pejabat pemerintah Nigeria untuk mengamankan
kontrak senilai 6 Juta USD. Selain diharuskan membayar denda yang sangat besar,
Halliburton juga sepakat untuk melakukan peninjauan dari pengawas independen
dan melaporkan rencana masa depan perusahaan kepada FCPA. Yang mencurigakan
adalah bahwa tidak seorangpun dibawa ke pengadilan pada saat sang wakil
presiden menjabat.
Kasus ini menggambarkan dilema yang sangat
mendasar dalam bisnis internasional. Jika sebuah perusahaan terikat pada hukum larangan
korupsi di negara asalnya yang mana hukum ini tidak mengikat perusahaan dari
negara lainnya, bagaimana mungkin perusahaan ini mampu berkompetisi dalam
lingkungan yang kental dengan korupsi? Bagaimana caranya memperbaiki kondisi
ini? Dan juga bagaimana mendefinisikan (lalu mengimplementasikan) standar etika
yang tepat dalam dunia yang sangat rumit, kompleks dan multibudaya seperti
sekarang ini? Pertanyaan inilah yang menjadi tantangan hukum, politik dan etika
yang dihadapi bisnis global pada masa kini.
A.
Aturan-aturan dalam Permainan
Banyak pihak yang mengungkapkan bahwa dalam
sebuah dunia yang sempurna (termasuk dunia bisnis global), hanya akan ada
sedikit konflik, tidak ada korupsi dan adanya keadilan untuk semuanya.
Perusahaan-perusahaan beserta para manajernya akan berusaha mencapai kompromi
dan keuntungan bersama serta akan memastikan bahwa semua pemangku kepentingan
(bukan hanya pemilik saham) mendapatkan manfaat bersama. Keadilan dan
kesetaraan akan tercipta dan semua pihak akan mempertahankan tindakan-tindakan
yang bertanggung jawab sesuai standar etika. Meskipun semua orang berharap akan
terciptanya dunia yang sempurna, menciptakan kondisi yang demikian bagi sebagian
besar orang adalah hal yang tidak mungkin. Mengapa demikian? Kemiskinan,
perbedaan kelas, kompetisi kehidupan sosial, sistem politik dan sosial,
ketidakadilan sosial, keserakahan, dan nasionalisme adalah beberapa alasan
diantaranya. Kita hidup dan bekerja dalam sebuah dunia yang tidak sempurna
karena manusia dan sistem sosial sangatlah beragam dan faktor-faktor pendorong terutama
di tingkat lokal sangat beragam. Kita akan mendalami hal ini lebih jauh.
Sebuah penjelasan yang relatif optimis mengenai
mengapa kita tidak hidup di dunia yang sempurna dapat dilihat dalam penelitian
yang mengemukakan bahwa kemiskinan dan korupsi akan berjalan bersamaan;
korupsi, penyuapan, kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial dapat dengan
mudah ditemukan di negara-negara miskin yang memiliki sumber daya sosial dan
kesempatan pendidikan yang rendah. Oleh karena itulah, kita dapat lebih mudah
menemukan korupsi di Nigeria dibandingkan di Finlandia. Banyak orang yang
tinggal di negara miskin
cenderung lebih memikirkan bagaimana cara untuk tetap bertahan hidup
dibandingkan cara untuk mencapai kesuksesan, sehingga standar etika yang
lebih tinggi seringkali dianggap sebagai atribut kemewahan yang tidak dapat
dicapai. Pandangan ini bersifat optimistis karena implikasinya adalah perbaikan
kondisi sosio-ekonomi yang terjadi di semua aspek akan mendekatkan kita ke
dunia yang sempurna yang telah disebutkan sebelumnya. Dan pernyataan ini
mengandung sejumlah kebenaran. Contohnya, sebagian besar
orang akan cenderung menganggap - dan mungkin bahkan juga melakukan - bahwa
pencurian makanan dilakukan oleh orang miskin yang kelaparan, bukan orang yang
kaya, meskipun orang kaya juga sangat mungkin memiliki perilaku yang sama.
(alasan inilah yang menyebabkan mengapa bintang film yang melakukan pencurian
akan selalu menjadi berita utama). Meskipun demikian fakta bahwa kedua fenomena
ini (korupsi dan kemiskinan) selalu saling berdampingan, tidak berarti bahwa
keduanya memiliki hubungan sebab akibat. Para filsuf masih merenungkan bagaimana
Holocaust terjadi di salah satu negara yang paling terindustrialisasi dan
paling produktif (tanah paling terolah). Hal yang sama ditunjukkan oleh
peringkat korupsi di berbagai negara yang sangat bervariasi bahkan diantara
negara-negara miskin di kawasan geografis yang sama (seperti Indonesia dan
Malaysia, Nigeria dan Kenya, Rusia dan Polandia). Oleh karena itu, hubungan
sebab akibat yang mengaitkan keduanya korupsi dengan kemiskinan sangat sulit
untuk ditemukan.
Di samping itu, ada pandangan yang relatif pesimis mengenai situasi
ini yang menyatakan bahwa kita hidup di dunia yang tidak sempurna disebabkan
oleh sifat alami manusia yang juga tidak sempurna. Misalnya saja keserakahan.
Orang-orang tertentu cenderung memaksakan diri untuk memaksimalkan pendapatan
mereka dan kepemilikan pribadi mereka dengan mengorbankan banyak hal lain.
Dalam upaya pencapaian ini, standar etika seringkali diabaikan demi mendapatkan
keuntungan. Penjelasan ini membantu kita memahami mengapa seseorang memiliki
perilaku serakah, namun tidak dapat menjelaskan motif utama apa dibalik
keserakahan tersebut. Obsesi untuk mengumpulkan uang dan kepemilikan yang lebih
banyak bisa jadi justru menjadi topeng dari obsesi atas status atau keamanan. Pemaparan
ini relevan untuk menjelaskan mengenai dunia yang semakin dekat pada
kesempurnaan, karena apabila hanya mengandalkan obsesi yang dangkal dan mengabaikan
obsesi yang lebih dalam tidak akan dapat membantu kita memahami isu / masalah
yang sesungguhnya. Pesimisme awal dalam posisi ini, yaitu “apabila seseorang
memiliki sifat serakah, kita tidak akan mampu mengubah hal itu” mungkin
kemudian akan berubah menjadi posisi yang lebih diharapkan, karena kecemasan
dan kebutuhan terhadap keamanan atau status lebih berhubungan pada bagaimana
perasaan seseorang bukan pada bagaimana cara seseorang melakukan sesuatu, dan
sebelumnya lebih lunak dari yang kemudian. Lebih dari itu, sebagaimana yang
akan disadari oleh para pembaca, budaya berpengaruh besar terhadap bagaimana
seseorang mendefinisikan keserakahan, keamanan atau status dan kita akan
mempertimbangkan perbedaan ini pada saat berkompromi dengan etika bisnis atau
perilaku manajemen lintas budaya.
Selain
optimisme dan pesimisme, ada pendapat ketiga yang menjelaskan hal ini yaitu
yang didasarkan pada budaya. Misalnya saja, dalam
masyarakat yang lebih kolektifistik, sebagian besar orang akan cenderung
menginginkan bentuk egalitarianisme sosio-ekonomi, dimana pendapatan dan
keuntungan secara kasar terbagi secara merata; tidak ada seorang pun yang terlalu
kaya ataupun terlalu miskin, dan harmoni yang menjadi sasaran utama.
Sebaliknya, dalam budaya yang cenderung lebih individualistik, orang-orang
mempertanyakan keuntungan dari kompetisi antar individu, dengan kekuatan pasar
yang berupaya menurunkan inefisiensi dan menurunkan biaya konsumen, dan atasan
yang memberikan bonus bagi karyawan yang memiliki semangat yang lebih,
inisiatif dan penguasaan yang lebih baik. Jika perspektif ini digunakan,
pertanyaan kunci yang menjadi acuan adalah apa yang dimaksud dengan dunia yang
sempurna, bukan mengenai bagaimana mencapainya. Dalam hubungannya dengan bisnis global, apakah dunia
sempurna dicirikan dengan lingkungan dimana semua orang bermain dengan aturan
yang sama di lapangan permainan ataukah lingkungan dimana semua orang (atau
setidaknya setiap kelompok) menyusun aturan mereka sendiri? Dan apabila semua
orang bermain dengan aturan yang sama, siapa yang akan membuat peraturan?
Dibalik pertanyaan-pertanyaan yang tampak
sederhana ini, ada berbagai masalah yang dihadapi, seperti berbagai jenis atau
fokus dari konflik budaya.
Salah satu yang menarik perhatian adalah konflik antar budaya yang membahas
mengenai apa itu moral atau sanksi budaya dan apa makna dari legalitas. Apa
yang akan terjadi, atau setidaknya seharusnya terjadi, apabila dua konsep utama
ini (moral dan legalitas) bertentangan satu sama lain? Perhatikan contoh
berikut ini: The Trique, sebuah komunitas asli di pedesaan Meksiko memiliki
tradisi di mana orang tua menyusun rencana pernikahan untuk anak-anak mereka
dan mereka melakukan hal ini pada saat anak-anaknya masih sangat muda. Mereka
juga memiliki kebiasaan dimana keluarga sang pengantin laki-laki membayar
keluarga pengantin perempuan dalam bentuk mahar, terutama untuk mengganti biaya
upacara pernikahan. Kebiasaan ini dapat ditemukan di berbagai komunitas di
seluruh dunia. Dalam sebuah keluarga yang memiliki kebiasaan seperti ini,
Marcelino de Jesus Martinez menyusun rencana pernikahan anaknya yang bermur 14
tahun dengan anak lelaki tetangganya. Kedua anak muda ini pun sepakat untuk
menikah. Di Meksiko, kebiasaan ini tidak istimewa karena merupakan budaya yang
telah mengakar. Meskipun demikian, pernikahan ini tidak terjadi di Meksiko
namun di sebuah komunitas pertanian di Greenfield dimana banyak petani Meksiko
tinggal dan bekerja. Akibatnya, Martinez ditahan dengan tuduhan memaksa anak di
bawah 16 tahun untuk berhubungan seksual dan mengabaikan serta mengancam kesehatan
anak di bawah umur. Lebih parah lagi, ia juga dituduh menerima uang senilai US$
16.000 sebagai ganti dari persetujuannya atas pernikahan ini, yang meskipun di
Meksiko dianggap sebagai mahar, namun dianggap sebagai penarikan keuntungan
finansial di California. Sebagaimana dicatat oleh penuntut dalam kasus ini,
“Hal ini bukan merupakan kasus perdagangan manusia yang umum terjadi, karena
tidak ada paksaan atas tindakan ini. Kami menyadari adanya permasalahan budaya
dalam kasus ini, namun hukum negara lebih diutamakan daripada sensitivitas
budaya.” Ironi kasus ini adalah bahwa hal ini tidak akan terjadi apabila
Martinez tidak meminta bantuan polisi untuk memaksa si pengantin laki-laki
membayar mahar.
B.
Sebab-sebab Konflik Antar Budaya
Filsuf Perancis Blaise Pascal dan William
Norris yang mendirikan perusahaan Control Data Corporation, meskipun keduanya
berasal dari dua periode waktu yang berbeda (dan dua pandangan yang sangat
berbeda mengenai globalisasi) namun menghasilkan satu kesimpulan yang sama
mengenai etika,
dengan fokus yang berbeda. Pascal menggarisbawahi bahwa orang-orang dari dua
budaya yang berbeda (dalam kasus ini Perancis dan Spanyol) melihat fakta yang
ada di lapangan dengan cara yang berbeda. Kita dapat menafsirkan konflik hanya
dengan melihat siapa yang benar atau yang salah, atau dengan mendalami dan
mencoba memahami lebih dalam dasar-dasar yang digunakan dalam sudut pandang penentuan
siapa yang benar atau salah. Sederhananya,
ketegangan inilah yang menjadi sebab konflik antar budaya: bagaimana
mengungkapkan fakta yang sebenarnya terjadi dan menemukan kebenaran yang dapat
kita terima. Pada saat yang bersamaan, Willian Norris menekankan bahwa
perusahaan transnasional sangat terpengaruh oleh kondisi lokal dan kenyataan di
lapangan, apapun kondisinya. Meskipun perusahaan-perusahaan ini dapat memilih
untuk keluar dari negara tersebut, ada risiko yang harus ditanggung akibat
pilihan ini, seperti biaya pemindahan. Oleh karena itu, pertanyaan yang perlu
diajukan adalah bagaimana menjalankan sebuah perusahaan transnasional dengan
efektif dan efisien yang mampu mengakomodasikan perbedaan secara simultan
dengan kondisi di lapangan.
Perbedaan
antara pandangan Pascal dan Norris adalah bagaimana keduanya melihat persaingan. Pascal
mengamati perbedaan dengan sudut pandang global (seluruh dunia) sedangkan
Norris berfokus pada perbedaan perilaku. Keduanya (sudut pandang menyeluruh dan
pendekatan perilaku) penting bagi manajer yang sedang menghadapi penyelesaian
konflik. Pada kenyataannya, pada saat kita membahas mengenai konflik, perlu dicatat bahwa konflik
lintas batas seringkali mencakup satu dari tiga isu berikut: Apa itu etika? Apa
yang dimaksud dengan keadilan? Apa saja yang diperlukan perusahaan dalam
melaksanakan tata laksana pengelolaan sumber daya yang baik? Tiga
permasalahan di atas memerlukan perhatian yang khusus bukan hanya karena
kaitannya dengan perilaku manajerial yang tepat namun juga karena pada akhirnya
ketiga masalah inilah yang dapat menyebabkan sang manajer dan perusahaannya
bangkrut apabila tidak dikelola dengan baik. Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Norris, mengabaikan lingkungan tempat perusahaan berarti membahayakan
perusahaan itu sendiri.
Konflik budaya, seperti contoh yang telah
diberikan di atas, memiliki berbagai ragam jenis yang berbeda. Contohnya yaitu
diskusi dalam sebuah makan malam di London antara kelompok partner bisnis dari
China, Perancis dan Ekuador. Pada saat ketiga kelompok tersebut memesan
hidangan pembuka, mereka kemudian tidak mencapai kesepakatan mengenai menu yang
akan dipesan seperti sup tikus, siput rebus atau semut goreng. Meskipun diskusi
ini terlihat hidup hingga tampak seperti memenuhi ruangan dengan sanggahan
mengenai apa yang akan dipesan, konflik yang sebenarnya bukanlah mengenai
hidangan pembuka ini. Bayangkan saja bahwa si partner dari Perancis ini sangat
menyukai semut goreng sehingga ia memutuskan untuk membuka restoran baru di
sebuah desa nelayan bernama Argenton di sebuah teluk di Perancis. Yang mungkin
terjadi adalah restoran barunya ini akan menghadapi perlawanan dari tetangganya
yang asli dari daerah setempat (Breton); juga tantangan dari departemen
kesehatan Perancis yang mengkhawatirkan keamanan makanan ini. Di satu pihak,
perbedaan budaya dapat menjembatani berbagai macam selera yang berbeda dan
praktik yang berbeda (apakah anda yakin bersedia makan semut goreng?). Selain
itu, perbedaan ini juga dapat menjembatani berbagai hukum dan peraturan yang berbeda (apakah
semut goreng itu aman?). Oleh
karena itu, kita harus membedakan antara konflik yang membahas mengenai selera
perseorangan dengan konflik yang berkaitan dengan perilaku etis yang dapat
diterima dan hukum lokal atau persyaratan kebijakan.
Untuk
dapat melihat konflik antar budaya secara menyeluruh, kita perlu menambahkan
kategori ketiga yaitu: kepercayaan dan nilai-nilai. Dengan masih melanjutkan cerita di atas,
bayangkan bahwa ada sebuah budaya yang mempercayai bahwa tikus, siput dan semut
berada dalam kelompok yang lebih tinggi yang kemudian makhluk-makhluk inilah
yang membimbing leluhur manusia di kehidupan setelah kematian. Dalam konteks
ini, memakan semut menjadi sebuah tindakan yang tidak hanya sekedar melampaui
selera, praktek dan hukum namun juga melampaui konflik nilai. Pada tingkat
inilah berbagai kepercayaan dan nilai-nilai saling bertabrakan.
Konflik Lintas Budaya
|
Budaya
A
-Selera
dan Acuan
-Peran
etika vs. Persyaratan hukum
-Inti dari kepercayaan dan nilai-nilai
|
Budaya B
-Selera
dan Acuan
-Peran
etika vs. Persyaratan hukum
-Inti dari kepercayaan dan nilai-nilai
|
Oleh karena itu, dengan pemahaman bahwa konflik antar budaya dapat menjadi penghalang bagi bisnis global dan keberhasilan manajemen, kita dapat meringkas tantangan-tantangan ini menjadi tiga kategori yang berbeda yaitu:
Gambar
11.1
Sumber-sumber Konflik Lintas Budaya
1)
Penerimaan atau penolakan terhadap selera dan
acuan yang berbeda. Konflik ini terjadi akibat
perbedaan selera dan acuan yang digunakan oleh perseorangan atau kelompok satu
sama lain. Setiap orang harus menentukan selera atau acuan yang mana yang dapat
diterima atau ditoleransi. Meskipun demikian, keputusan ini dapat dipengaruhi
oleh kemampuan pihak-pihak yang terlibat dalam berkompromi.
2)
Acuan yang digunakan dalam penilaian etika
atau persyaratan hukum. Konflik mengenai perbedaan pendapat terhadap definisi etika
dan legalitas. Setiap orang harus memutuskan antara mengikuti naluri akal sehat
mereka atau mengikuti hukum dan peraturan. Pengabaian terhadap moral atau hati
nurani akan memunculkan implikasi moral sedangkan pelanggaran terhadap hukum
akan menyebabkan si pelaku mendapatkan hukuman.
3)
Toleransi atau intoleransi terhadap
kepercayaan dan nilai-nilai yang berbeda. Konflik
antara kepercayaan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok
tertentu dibandingkan dengan kelompok lain. Setiap orang harus menentukan
seberapa toleran mereka dalam hubunagnnya dengan kepercayaan dan nilai-nilai
pihak lain. Adakah ruang untuk kompromi atau tidak?
B.1. Konflik mengenai
Selera dan Acuan
Orang-orang dari budaya yang berbeda tentu
memiliki selera dan acuan yang berbeda pula. Dalam bentuk yang paling
sederhana, selera dan acuan ini biasanya sangat pribadi dan subyektif sehingga
sangat mudah diabaikan (seperti pilihan menjadi vegetarian). Sebagaimana yang
diungkapkan oleh David Cooper berkaitan dengan selera, seseorang bisa secara
sederhana setuju untuk tidak setuju. Meskipun demikian, apabila selera atau
acuan ini mempengaruhi orang lain secara langsung (seperti seorang vegetarian
yang menjadi agen penjualan produk daging namun menolak untuk mengonsumsi
produk yang dijualnya bersama dengan klien atau pelanggan), masalah ini tentu
tidak dapat diabaikan begitu saja. Dalam kasus seperti ini, kiat seringkali
melihat adanya tekanan yang muncul dalam mencari cara penyelesaian masalah ini
atau mengubah perilaku pribadi. Oleh karena itu, pemahaman mengenai bagaimana
dan kapan harus mengabaikan strategi “sepakat untuk tidak sepakat” menjadi
sangat penting.
Misalnya
saja dalam sebuah perusahaan berteknologi tinggi asal Belanda yang baru-baru
ini dibeli oleh raksasa elektronik AS. Perusahaan ini ternyata tetap konsisten
dengan tradisi Belandanya yaitu adanya persediaan kendaraan perusahaan bagi
manajer tingkat menengah di perusahaan dengan tujuan untuk mengalihkan pajak
pendapatan di Belanda yang sangat tinggi. Di mata karyawannya, hal ini
merupakan bagian dari paket kompensasi. Meskipun demikian, setelah akuisisi,
petinggi perusahaan yang baru berupaya untuk menghapuskan kebijakan kendaraan
bagi manajer ini karena kebijakan ini dianggap terlalu dermawan apabila
menggunakan standar perusahaan induknya di AS. (akibat banyaknya pengunduran
diri, pencabutan kebijakan ini dibatalkan). Contoh ini menggambarkan konflik
dan tantangan yang dihadapi oleh para manajer di era global seperti sekarang
ini. Hikmah dari masalah ini, petinggi di AS kemudian memberlakukan kesetaraan
bagi karyawannya di kedua negara dengan cara yang berbeda karena pajak
penghasilan di Belanda jauh lebih tinggi daripada di AS.
B.2. Konflik antara
Etika dengan Hukum
Selama
ribuan tahun, manusia telah berupaya keras untuk memisahkan cakupan hukum dan
etika. Agar lebih mudah memahami hal ini, mari kita lihat peran agama dalam
melakukan mediasi. Dalam doktrin Kristen, misalnya, hubungan sosial menekankan
pada kebutuhan untuk memisahkan antara pemerintahan (yang dipegang oleh Kaisar)
dari spiritualitas (yang dipegang oleh Tuhan). Agama dan filosofi yang lain
pada umumnya tidak menjelaskan pemisahan keduanya dengan jelas. Misalnya saja,
Konfusianisme (yang sebenarnya merupakan sistem etika sekuler, bukan agama)
memandang kaisar dan pegawai negeri sebagai teladan utama bagi perilaku semua
orang dan menyatakan bahwa hubungan sosial pada umumnya mencerminkan hubungan
yang harus dibentuk antara pemimpin dengan yang dipimpin. Dalam kitab Weda yang
menjadi pedoman bagi pemeluk agama Hindu, menugaskan kasra Ksatriya untuk
mengelola militer dan pemerintahan. Islam yang menyatukan ruang pribadi dengan
publik, meniadakan pemisahan antara pemimpin hukum dan keagamaan dalam
hubungannya dengan masalah perbankan dan finansial dalam Islam.
Seiring berjalannya waktu, doktrin
dan praktik yang dianut dan dilaksanakan oleh berbagai kepercayaan ini semakin
lama menunjukkan kecenderungan adanya pemisahan antara mana yang bersifat etika
dan keagamaan dengan yang bersifat hukum, kecuali negara-negara Islam yang
masih menerapkan peraturan hukum dan keagamaan (syariah). (Para filsuf Barat
percaya bahwa tidak adanya pemisahan antara aspek hukum dengan etika/keagamaan
di negara-negara Islam merupakan bagian dari proses menuju pemisahan keduanya.
Sebagian besar penduduk negara-negara Islam tidak setuju dengan pandangan ini
dan menganggap bahwa hipotesis tersebut merupakan upaya campur tangan Barat
dalam mempengaruhi dasar-dasar tradisi dan kepercayaan Islam.)
Implikasi praktis yang paling
utama dari pemisahan antara aspek etika dengan hukum adalah bahwa satu-satunya
parameter yang paling dasar dalam perilaku manusia ini (seperti tindak kejahatan
terhadap masyarakat) diatur oleh hukum beserta sanksi yang diperlukan,
sementara etika seringkali
dianggap sebagai peraturan yang dibuat oleh seseorang secara individu atau
kelompok dan tidak melibatkan campur tangan pemerintah (seperti
kebebasan beragama). Apabila dikotomi
ini benar-benar berhasil secara praktis, akan muncul beberapa kontradiksi
antara mandat hukum dan mandat etika, meskipun hal ini tidak selalu terjadi.
Sekarang,
mari kita ajukan beberapa pertanyaan menarik terkait permasalahan ini: Apa yang
harus dilakukan seseorang (termasuk para manajer), apabila ia dihadapkan pada
konflik antara kepercayaan atau etika di satu sisi dengan aturan hukum lokal di
sisi lain? Ketika semua upaya yang memungkinkan gagal menyelesaikan konflik,
penelitian menunjukkan bahwa di sebagian besar budaya, seringkali orang lebih
memilih jalur etika dibandingkan hukum. Manusia akan cenderung mengikuti akal
sehat mereka sebelum mengikuti aturan hukum. Hal ini bukan berarti bahwa
mengikuti akal sehat adalah cara yang mudah. Pada kasus dimana aturan hukum dan
moral saling bertentangan, apabila seseorang mengikuti akal sehat dan moral
saja, ia justru menjerumuskan dirinya menuju hukuman secara legal. Meskipun
demikian, sebagian besar budaya di dunia justru lebih menekankan pada
pentingnya melakukan tindakan yang benar di atas tindakan hukum. Kondisi yang
seperti inilah yang kemudian banyak memunculkan pahlawan (yang menekankan pada
tindakan yang benar, bukan yang sesuai dengan aturan hukum) bagi warga
setempat. Terlebih lagi, banyak perusahaan yang kemudian mendorong karyawannya
untuk mematuhi doktrin ini.
Contohnya,
program pelatihan rumahan Motorola menyarankan manajer globalnya untuk
memeriksa lebih dalam apakah konsekuensi dari penerapan aturan hukum di
berbagai negara memungkinkan adanya pelanggaran aturan dasar hak asasi manusia
atau perlindungan lingkungan, sebelum mengambil kebijakan tertentu. Alasan
Motorola mungkin masuk akal bagi banyak orang, namun secara tak kasat mata
didasarkan pada asumsi bahwa contoh kasus konflik antara aturan etika dan hukum
hanya akan terjadi di luar negeri, bukan di AS. Pelatihan yang diberikan oleh
Motorola terkait permasalahan ini terlalu minim sehingga tidak dapat menjangkau
seluruh manajer lokalnya yang jumlahnya melimpah.
Oleh
karena itu, masyarakat lebih khawatir apabila yang dipertaruhkan adalam hukum
negara asalnya dibandingkan hukum negara lain. Misalnya, pebisnis yang
bepergian ke Iran akan cenderung berbohong kepada pihak yang berwenang di Iran
mengenai pernah atau tidaknya ia mengunjungi Israel, karena hal ini secara
otomatis akan menghambat mereka memasuki Iran. Namun apabila pebisnis yang sama
ditanyai mengenai pelanggaran hukum imigrasi di negaranya sendiri, respon
mereka menjadi lebih halus dan menunjukkan keengganan untuk melanggar hukum.
Pertanyaan yang perlu diperhatikan oleh para manajer global adalah kapan dan
dimana harus menempatkan keyakinan seseorang di atas hukum. Bukan merupakan
pertanyaan yang mudah dijawab, oleh karena itu kami akan menjelaskannya lebih
jauh selanjutnya.
B.3. Konflik mengenai
Kepercayaan dan Nilai
Banyak
manajer yang melihat konflik antar nilai sebagai hal yang wajar dan tidak dapat
dihindari, sebagai akibat dari pertemuan berbagai macam budaya. Konflik yang
demikian ini merupakan masalah yang penting namun relevansinya terkadang
dilebih-lebihkan. Alasan pertama, banyak di antara konflik-konflik ini yang
juga terjadi bahkan di dalam budaya itu sendiri terutama budaya yang memiliki
kebanggaan sebagai hasil dari penyatuan berbagai sudut pandang juga sebuah
budaya yang sangat menghargai keanekaragaman. Kedua, kita telah mahfum bahwa
dibalik konflik antar nilai dari budaya-budaya yang berbeda terdapat konflik yang
sesungguhnya yaitu mengenai praktik yang akan dilakukan yang sebenarnya berasal
dari nilai-nilai yang sama dan tidak
saling bertentangan. Ketiga, pertemuan lintas budaya bukan hanya merupakan
hasil dari pertentangan antar nilai, namun juga hasil dari pemisalan dimana
nilai yang berlaku di satu kebudayaan juga berlaku di kebudayaan yang lainnya,
yang pada akhirnya tidak akan memunculkan konflik namun justru keinginan untuk
memperkuat nilai tersebut. Dan yang terakhir, pakar antropologi secara
konsisten menekankan bahwa dengan memasuki budaya lain, kesadaran dan pemahaman
seseorang mengenai nilai dan praktek yang dimiliki di budayanya sendiri akan
meningkat, yang sebelumnya diabaikan.
Masalah utama yang kemudian
perlu dibahas adalah harmonisasi dan pertimbangan antara berbagai nilai dalam
sebuah kebudayaan. Tidak semua nilai diperlukan setiap saat, dan beberapa nilai
seringkali tidak mudah diterima serta diterapkan secara berkelanjutan. Di satu
sisi, sebagai akibat dari meningkatnya tekanan globalisasi, berbagai kebudayaan
tidak serta merta mengakomodasi nilai dari luar menjadi bagian dari budaya
namun cenderung mempertimbangkan dan mengombinasikan nilai-nilai ini untuk tujuan tertentu dengan praktek
yang khas. Di lain pihak, dengan adanya percampuran antar budaya, pertentangan
antar nilai ini menjadi lebih rawan terjadi di dalam kebudayaan itu sendiri
daripada antar budaya. Penelitian yang baru-baru ini dilakukan mengenai peran
seorang pemimpin etis yang dilakukan di beberapa kebudayaan misalnya,
menghasilkan kesimpulan yang sangat membantu. Hal ini juga telah diungkapkan di
bab 4 pada pembahasan mengenai apakah gaya manajemen dan pola bisnis akan
mengerucut atau tidak di masa depan.
Para peneliti di proyek GLOBE
(dibahas di Bab 8) mengamati dukungan terhadap pemimpin etis di berbagai budaya
dengan melakukan kajian terhadap pustaka etika dan kepemimpinan untuk menemukan
atribut kunci yang menjadi ciri kepemimpinan etis. Atribut-atribut ini
meliputi: karakter dan integritas; kesadaran etika; orientasi komunitas dan
masyarakat; memotivasi, mendukung dan menyokong masyarakat; dan tanggung jawab
etika. Dengan menggunakan data yang didapatkan dari GLOBE, mereka menyimpulkan
4 faktor yang sesuai dengan empat dari enam atribut yang didapatkan dari
tinjauan pustaka, yang kemudian dinamai “karakter dan integritas”, “altruisme
(kecenderungan untuk mengabaikan kepentingan pribadi demi kesejahteraan orang
lain)”, “motivasi bersama”, dan “dorongan.” Hasil yang didapatkan menunjukkan
bahwa dukungan terhadap keempat dimensi kepemimpinan etis tersebut berbeda di
masing-masing negara yang diteliti. Meskipun demikian, karena dukungan
rata-rata dari atribut ini melebihi rata-rata untuk semua dimensi, penulis
menyimpulkan bahwa ada hubungan yang terbentuk dalam bentuk dukung terhadap
komponen yang dimiliki dalam kepemimpinan etis. Penelitian ini menyatakan bahwa
empat dimensi kepemimpinan etis mewakili prinsip-prinsip universal yang,
meskipun semua budaya menghargai dimensi kepemimpinan etis yang umum diterima,
memperbolehkan adanya perbedaan yang signifikan dalam pemberlakukannya.
Untuk menggambarkan situasi ini,
misalkan saja kita perhatikan faktor “karakter dan integritas” yang disebutkan
dalam kajian GLOBE. Dimensi ini paling mendapat dukungan dari masyarakat di
kawasan Eropa Nordik, dan paling rendah di kawasan Timur Tengah. Baik di
negara-negara Nordik maupun Timur Tengah, penulisnya mengutarakan, penduduknya
menghargai karakter dan integritas pemimpinnya namun memiliki peringkat yang
sangat jauh dalam hal indeks korupsi (lihat tabel di bawah). Dalam dimensi altruisme,
negara-negara Nordik Eropa menunjukkan dukungan yang paling rendah sedangkan
Asia Tenggara mendapatkan peringkat paling tinggi. Ada yang berpendapat bahwa
hal ini berkaitan dengan fakta yang menunjukkan bahwa orang-orang Asia Tenggara
juga memiliki peringkat yang lebih tinggi dalam hal kebanggaan, kesetiaan dan
kemanusiaan dibandingkan dengan masyarakat Nordik Eropa. Apapun alasannya,
kesimpulan logis yang didapatkan pada pembahasan ini adalah bahwa nilai etika
dan peran kepemimpinan yang diharapkan atau diterima memiliki keragaman yang
cukup tinggi antar negara.
C.
Etika, Hukum dan Pengendalian Sosial:
Sebuah Model
Etika, konflik dan budaya merupakan
tiga kata yang paling rumit dalam bahasa Inggris. Masing-masing konsep tersebut
jelas namun juga kabur, dinamis dan statis, emosional dan obyektif. Apabila
disandingkan bersamaan, akan menimbulkan kebingungan dan penolakan. Dan jika
permasalahan etis dalam sebuah masyarakat yang homogen sudah rumit, bayangkan
bagaimana tantangan ini kemudian apabila dihadapkan pada percampuran antara dua
budaya atau lebih.
Untuk memulai pembahasan
mengenai konflik antar nilai ini, ada baiknya jika kita memisahkan mana yang
merupakan kepercayaan dan nilai yang etis atau yang normatif dari persyaratan
kelembagaan. Konflik etis
merupakan ketidaksepakatan yang muncul antara dua orang (atau kelompok) atau
lebih yang tidak setuju mengenai mana yang secara moral dan filosofis dapat
diterima. Ketidaksepakatan ini seringkali diwujudkan dalam istilah benar dan
salah, moral atau imoral, dan masing-masing kelompok harus menentukan
keputusannya sendiri di antara dua kutub tersebut. Berbuat curang dalam
pajak pendapatan adalah salah satu contoh kasus yang dapat menggambarkan
permasalahan ini. Pada kenyataannya ada masyarakat percaya bahwa seseorang yang
tidak mampu membayar bagiannya dalam perusahaan atau pajak pribadi dianggap
melakukan pencurian dana masyarakat dan secara moral dianggap tercela, sedangkan
masyarakat yang lainnya (dan beberapa orang dari masyarakat sebelumnya) hanya
membayar kewajiban pajak mereka seadanya dan mengakui (dan kadang mendukung)
upaya untuk mengurangi atau menghapuskan beban finansial semacam ini. Sebagai
contoh, pada tahun 2008 sebuah kota di Italia secara tidak sengaja
memublikasikan daftar pajaknya di sebuah situs sehingga semua orang bisa
melihat pajak apa saja yang dibayar oleh setiap penduduknya. Sebuah ledakan
kemarahan moral terjadi, dengan kondisi yang membingungkan dan mengundang
keingintahuan: separuh dari penduduk kota marah dengan alasan moral karena
banyak penduduk lain yang terang-terangan menghindari kewajiban pajak mereka,
sedangkan separuh yang lain marah karena kesalahan pemerintah kota yang lalai
dan secara tidak sengaja menghina penduduknya yang tidak membayar pajak. Siapa
yang lebih bermoral dalam kasus ini?
Sebaliknya, konflik kelembagaan menunjukkan
perbedaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan legal atau konsisten
dengan kebijakan publik yang ditentukan secara sah. Perbedaan yang paling mendasar
dalam kasus ini adalah, apabila konflik etis berfokus pada definisi moral, maka
konflik institusional berfokus pada apa yang dimaksud dengan absah secara hukum.
Misalnya, banyak
pemerintah yang mengadopsi hukum perlindungan konsumen untuk melindungi
penduduknya dari produk yang tidak sehat, tidak aman atau diproduksi dengan
metode yang buruk. Sedangkan pemerintah lainnya cenderung mengambil pendekatan
yang menekankan pada asas non-intervensi (atau caveat emptor – ‘biarkan pembelinya yang mengawasi’). Dan masih
banyak lagi hukum yang ada dalam kitab hukum namun jarang sekali ditegakkan. Selain
membuat hukum, pemerintah beserta departemennya menyepakati pembuatan berbagai
macam kebijakan publik yang didesain untuk kepentingan bersama. Contohnya,
departemen-departemen dalam pemerintahan mengeluarkan peraturan, rekomendasi,
atau sasaran pada isu yang terkait dengan kebijakan sosial (seperti emisi
kendaraan, gas rumah kaca, dan pembangunan berkelanjutan). Beberapa kebijakan
publik ini memiliki bermacam cara penegakan (biasanya lunak) sedangkan yang
lain ditegakkan oleh tekanan sosial.
Persyaratan Kelembagaan (hukum dan peraturan)
Hukum,
peraturan dan kebijakan publik yang bertujuan untuk memperkuat nilai-nilai
dan kepercayaan masyarakat sehingga dapat digunakan untuk menyusun standar
dan mengendalikan perilaku
|
Sasaran: Pengendalian
Sosial, Stabilitas dan Keberlanjutan
Menggalakkan pemikiran dan tindakan yang “benar”
yang konsisten dengan kebutuhan, keperccayaan dan nilai-nilai masyarakat.
Memperkuat pemikiran yang diharapkanoleh masyarakat beserta tindakannya
melalui sanksi hukum maupun sosial
|
Kepercayaan dan
Nilai-nilai Normatif (filosofi moral dan etika)
Kepercayaan,
norma, dan nilai-nilai masyarakat yang mendukung dan memperkuat apa yang
dianggap dapat diterima secara moral maupun etika
|
Pengaruh Normatif terhadap persyaratan
kelembagaan
|
Gambar 11.2 Kepercayaan Normatif, Persyaratan Kelembagaan dan Pengendalian Sosial
Yang menarik dalam pembahasan ini
adalah banyaknya persyaratan kelembagaan (seperti hukum dan peraturan) yang
diimplementasikan untuk memperkuat kepercayaan normatif (moral) masyarakat. Misalnya,
norma sosial atau kepercayaan keagamaan melarang tindak pencurian, hukum
kemudian ditegakkan untuk mendukung hal ini sehingga tindakan ini dianggap
ilegal. Akibatnya, kepercayaan normatif dan peraturan kelembagaan cenderung
sangat berkorelasi, terutama dalam masyarakat yang komposisi penduduknya
homogen. Bahkan di beberapa kebudayaan, persyaratan hukum berhubungan langsung dengan
kepercayaan keagamaan (seperti syariah Islam yang seringkali didefinisikan
sebagai sebuah sistem hukum ketuhanan yang mengatur kepercayaan sekaligus
praktek kehidupan sehari-hari). Apa yang dimaksud dengan dengan moral atau
legal dalam suatu masyarakat seringkali dimaknai secara berbeda dalam
masyarakat berbeda pula. Contohnya di beberapa negara Barat yang menganggap
bahwa perdagangan dengan pihak dalam (dimana karyawan perusahaan dan kerabatnya
yang dekat dengan pimpinan perusahaan menggunakan informasi penting yang tidak
tersedia secara terbuka untuk pemegang saham yang lainnya untuk menjual atau
membeli saham sebelum berita yang merugikan dan tidak diharapkan disebar ke
media) tidaklah etis dan ilegal, beberapa pihak menganggap perilaku ini tidak
dapat terelakkan (seperti pertanyaan, bagaimana mungkin masyarakat berharap ada
pemimpin perusahaan yang tidak memertimbangkan masa depan perusahaannya?) dan
oleh karena itu tidak berupaya untuk melarangnya.
D.
Konflik Etis dan Tantangannya
Setiap
hari, manajer di seluruh dunia dihadapkan pada konflik moral atau etis yang
berkaitan dengan kepercayaan serta nilai-nilai baik individu maupun masyarakat.
Isu konflik yang dipermasalahkan meliputi norma masyarakat secara umum mengenai
apa yang benar dan salah, juga mengenai kepercayaan keagamaan seperti apa yang
seharusnya dilakukan atau apa yang wajib dilakukan. Sebagaimana yang terjadi
dengan teori manajemen pada umumnya, sebagian besar dari tulisan yang dijadikan
pustaka dalam etika bisnis dan manajerial dikembangkan oleh para ilmuwan Barat
yang dididik dalam tradisi pemikiran Barat dengan melihat kondisi yang terjadi
pada pembuat kebijakan di Barat dalam melakukan pengelolaan di lingkungan yang
cenderung kebarat-baratan. Upaya untuk memperluas analisis, meskipun hanya
dengan menggabungkan ketegangan yang dihadapi oleh orang Barat dalam
interaksinya dengan non-Barat, hanya terbatas pada tingkat perkembangan yang
sangat rendah. Dari perspektif Barat, segalanya akan lebih sederhana apabila
pendekatan Barat dalam melihat etika bisnis dijadikan mufakat bagi para ahli,
namun bukan hal ini yang akan menjadi contoh kasus dalam pembahasan ini. Karya para penulis dan filsuf
masa kini yang membahas etika bisnis dan manajerial kebanyakan mengkaji dasar
yang digunakan dalam berbagai mazhab pemikiran (Barat) dengan implikasi yang
berbeda bahkan bertentangan dalam prakteknya, atau secara langsung melakukan
pembahasan terhadap masalah tertentu dengan asumsi validitas tradisi pemikiran
penulis tidak dapat dibantah. Meskipun pendekatan yang terbatas ini
cukup menarik, namun masalah dan tantangan yang dihadap dalam konflik dan
perilaku etis perlu ditangani dengan menggunakan perspektif global, bukan regional,
apabila kita ingin mengembangkan pemahaman mengenai peran etika dalam perilaku
manajerial.
Penulis yang membahas mengenai etika bisnis
pada umumnya telah menyadari bahwa mereka secara konsisten memiliki pandangan
yang sempit dengan mengabaikan tradisi budaya lainnya, meskipun mereka
melakukannya dengan sadar. Tetapi, kasus ini jarang dibicarakan karena sebagian besar
penulis menggunakan asumsi validitas universal dalam pendekatan mereka. Dengan
demikian, sebagian besar penulis ini berasumsi bahwa etika bisnis merupakan
fenomena universal sehingga tantangan yang dihadapi dalam bidang ini menurut
mereka adalah masih banyaknya kesatuan nilai-nilai dan norma sosial yang belum
ditemukan (juga belum banyak diajarkan) yang dapat digunakan dalam melihat
berbagai fenomena. Jelas, pendekatan ini sangat naif dan tidak memuaskan
sebagaimana yang dipahami oleh sebagian besar pemimpin perusahaan global.
D.1. Tingkat Pemahaman
Konflik Etika Lintas Budaya
Sebelum
menginjak ke pembahasan selanjutnya, perlu kiranya memastikan tiga hal yang
berhubungan dengan tingkat pemahaman kita terhadap proses konflik lintas budaya (lihat gambar
11.3): apa yang dimaksud dengan konsep nilai “universal” yang berhubungan
dengan perilaku etis? Bagaimana hubungan saling mempengaruhi antara
prinsip-prinsip dengan kenyataan dalam konflik etis lintas budaya? Bagaimana
cara nilai-nilai etika organisasi dan individu berhubungan satu sama lain dan
dengan tindakan manajerial yang lain? Apabila diperhatikan secara bersamaan,
ketiga faktor ini dapat membantu kita untuk memahami mengapa konflik lintas
budaya yang begitu rumit dan menantang terjadi terutama bagi orang-orang yang mencoba untuk melakukan hal
yang benar.
Level 1: Makna nilai
“Universal”
|
Level 2: Hubungan antara
prinsip dengan praktek
|
Level 3: Konflik etika
dalam dan antar organisasi
|
Level 1: Apa makna dari nilai-nilai “universal”?
Tujuan dan fungsi etika pada dasarnya
selalu berubah sesuai dimensi ruang dan waktu. Konsep seperti benar dan salah
pun selalu memiliki penafsiran yang beragam di berbagai budaya yang berbeda,
bahkan dalam satu budaya yang sama pada periode waktu yang berbeda. Yang perlu
diperhatikan adalah bagaimana pola berpikir kita dalam melihat evolusi
pemikiran manusia mengenai apa itu benar atau salah dalam dimensi ruang dan
waktu yang berbeda, dalam hal pola kita memaknainya atau,
sebaliknya, apakah tidak ada pola perubahan pada tujuan etika yang
teridentifikasi dengan menggunakan dasar geografis dan waktu.
Bahkan, tanpa memerhatikan bagaimana etika manusia berperilaku, setiap generasi
seringkali melihat dirinya sendiri sebagai generasi yang lebih maju
dibandingkan pendahulunya dalam hal ketepatan, kelengkapan dan keabsahan dari
kesadaran dan pemahaman etika mereka. Ketika kita berbicara bagaimana
masyarakat menjawab pertanyaan mendasar dalam kehidupan kita, hanya sedikit
orang (atau jika mungkin memang ada) yang bersedia meninggalkan kemajuan
intelektual budaya yang telah dicapai oleh leluhur mereka. Misalnya, siapa yang
benar-benar ingin kembali ke masa dimana seorang manusia memiliki orang lain,
ketika wanita tidak diizinkan untuk mengekspresikan diri mereka dalam kehidupan
sosial, ketika kepedulian terhadap lingkungan tidak terpikirkan sama sekali
oleh siapapun, atau ketika “nyawa dibalas dengan nyawa” menjadi cara yang
paling canggih untuk melakukan pembalasan? Lagipula, hal ini tidak berarti
bahwa masyarakat sekarang berperilaku lebih baik daripada masa lalu. Pada
kondisi dimana masyarakat dari budaya yang berbeda menganggap pendapat ini
masuk akal dan dapat diterapkan dalam tadisi mereka, kita dapat menyimpulkan
bahwa nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang diterapkan tersebut memang bersifat
universal. Meskipun demikian dengan mengesampingkan perkiraan dari
keberlanjutan kemajuan standar etika, dapat dikatakan bahwa tidak ada standar
etika apapun yang berlaku di suatu tradisi tertentu pada saat tertentu yang
bisa dianggap universal untuk jangka panjang. Jika hal tersebut dapat
dilakukan, itu berarti kita menghilangkan kemungkinan adanya perkembangan
standar melewati batas ruang dan waktu.
Singkatnya,
manusia dan budaya berubah berdasarkan dimensi ruang dan waktu, seiring dengan
perubahan nilai-nilai dan kepercayaan etika mereka. Pada waktu tertentu
nilai-nilai ini seringkali berlaku melintasi batas budaya. Hal ini dapat
dilihat pada kepercayaan bahwa “seseorang harus menghargai tetanganya” atau
“melindungi yang lemah” yang dapat ditemukan di berbagai pustaka seperti injil,
dharma, al-qur’an, purana, dan talmud. Meskipun demikian kecenderungan ini
kemudian menghilang sebagaimana yang terjadi dengan kasus hak-hak wanita
(apakah wanita harus mendapatkan hak-hak yang setara? Apakah makna dari
kesetaraan? Apakah setara itu lebih baik dari pada berbeda?), memperkuat
pernyataan bahwa nilai-nilai etika tidak dapat dianggap universal pada dimensi
ruang dan waktu yang berbeda. Jika hal ini benar adanya, maka para manajer
global akan hidup dalam dunia yang pararel yang berisi nilai-nilai yang saling
bertentangan dan berbagai bentuk perilaku yang dapat diterima.
Level 2: Apa hubungan antara prinsip-prinsip dan praktik di
lapangan?
Permasalahan kedua yang memerlukan
klarifikasi adalah hubungan antara prinsip-prinsip dan praktik di lapangan
dalam hubungannya dengan konflik etika lintas budaya. Banyak orang yang percaya
bahwa prinsip-prinsip yang bertentangan, bukan praktik-praktiknya, yang menjadi
akar penyebab dari sebagian besar konflik. Seiring dengan pendapat tersebut,
ada yang mengungkapkan bahwa apabila seseorang bisa mencapai kesepakatan
mengenai prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi berbagai macam praktik di
berbagai negara, kesepakatan ini akan memunculkan konsensus etika. Menurut
pengalaman kami, yang berlaku adalah sebaliknya. Ketidaksepakatan terhadap
praktik-praktik, bukan prinsip-prinsip, merupakan inti dari konflik etika yang
paling kompleks.
Mari
kita perhatikan contoh kasus Helliburton yang telah dibahas sebelumnya.
Nilai-nilai yang berlaku di negara asal (dalam kasus ini AS) menekankan
keengganan – dan pandangan immoral – untuk melakukan siap demi kepentingan
bisnis. Hal ini menjelaskan kemarahan publik terhadap AS pada saat media massa
lokal mengungkapkan apa yang dianggap sebagai perilaku yang tidak etis.
Mesikpun demikian, media massa Nigeria tidak melaporkan peringatan yang senada.
Mesikpun budaya Nigeria juga memiliki prinsip-prinsip yang mengatur mengenai
perilaku etika, penerapan dari prinsip-prinsip ini - dan juga praktiknya – seringkali berbeda. Di
Nigeria, etika lebih banyak membahas mengenai tanggung jawab untuk menyokong
sebuah keluarga dan trah (dinasti keluarga), bukan mengenai cara seperti apa
yang dilakukan untuk mendapatkan uang (benar atau salah). Bekerja dalam
lingkungan yang melintasi batas budaya memerlukan penyesuaian kondisi lapangan
yang tepat, bukan menekankanpada perilaku yang tidak biasa.
Seorang ilmuwan dan sejarawan
Yunani, Herodotus mengungkapkan: “Jika seseorang hendak memberikan tugas kepada
semua orang di muka bumi untuk memilih kostum mana yang terbaik di antara semua
kostum, masing-masing, dengan pertimbangan yang menyeluruh, akan memilih kostum
yang berasal dari masyarakatnya sendiri, karena mereka percaya bahwa pakaian
mereka adalah yang terbaik.” Ia menyarankan agar manusia tidak mencampuri
kebiasaan dan jalan hidup orang lain sebagai cara yang paling dasar untuk, atau
setidaknya meminimalkan konflik. Meskipun demikian, apabila tindakan ini tidak dapat
dilakukan, alternatif yang terbaik adalah dengan fokus pada apa yang telah
disepakati dimana kesamaan antar budaya dapat ditemukan. Dengan berfokus pada
kesepakatan yang dibuat, bukan pada praktek yang dipermasalahkan, kemungkinan
manajer dapat mengarahkan perhatian pada bagaimana membentuk praktek-praktek
atau cara yang dapat diterima oleh kedua pihak yang didasarkan pada prinsip
bersama.
Level 3: Bagaimana Menyelesaikan Konflik Etika Dalam dan
Antar Organisasi?
Yang terakhir, kita perlu membedakan
fokus konflik etika lintas budaya yang tergolong sebagai konflik antar
organisasi atau konflik individu dengan organisasi. Pada umumnya, yang dihadapi
adalah konflik mengenai posisi suatu perusahaan dan beberapa pihak luar seperti
konsumen, pemasok, rekan kerja yang penting dan yang lainnya. Selain itu,
konflik juga terjadi di lingkungan internal, antara nilai yang diterapkan di
perusahaan dengan nilai perseorangan yang dianut oleh karyawannya. Contohnya,
dilema yang dialami seorang apoteker yang tidak setuju untuk menjual
obat-obatan yang didukung oleh atasannya, meskipun obat ini juga telah
mendapatkan izin dari komunitas medis dan industri farmasi. Atau juga dilema
karyawan Departemen Pertanian AS yang diminta untuk berpartisipasi dalam
memromosikan ekspor tembakau ke luar negeri meskipun ia (bersama dengan
pemerintahnya) menentang aktivitas merokok. (Pada kenyataannya, pemerintah AS
memberikan subsidi untuk upaya pengurangan aktivitas merokok lokal dan program
promosi ekspor tembakau). Konflik seperti ini sangat umum sehingga tidak dapat
dihindari.
Meskipun akan lebih mudah
mengabaikan situasi ini dengan mengatakan bahwa perusahaan harus mengutamakan
prinsip-prinsip mereka sebagai bagian dari budaya, visi dan misi mereka (dan
jika karyawan tidak setuju dengan hal ini, mereka dipersilakan meninggalkan
perusahaan), masalah yang terjadi seringkali tidak sesederhana ini. Nilai-nilai
keorganisasian yang kontroversial tidak dapat diterima oleh karyawannya yang
tidak sepakat dengan nilai ini, meskipun mereka bertindak seolah mereka
sepakat. Di Jepang misalnya, sebagaimana yang dibahas di bab 6, melakukan atau
mengatakan hal yang benar sesuai dengan apa yang diharapkan dari seseorang
(tatemae) bisa jadi berbeda dengan apa yang cenderung diinginkan atau
dipikirkan oleh seorang individu (hone). Oleh karena itu, upaya pemahaman konflik ini
membutuhkan pemahaman yang baik mengenai siapa saja yang terlibat dalam konflik
ini, juga peran mereka masing-masing (baik yang diharapkan dari seseorang
maupun yang diinginkan oleh seseorang) dalam sebuah organisasi.
D.2. Upaya Pencarian
Kebenaran
Konsultan komunikasi Richard Lewis menyatakan meskipun
dengan nada bergurau, “bagi orang Jerman dan Finlandia, kebenaran adalah
kebenaran. Di Jepang dan Inggris, mengungkapkan kebenaran itu bukan masalah
asalkan tidak menimbulkan masalah. Di China, tidak ada kebenaran yang mutlak.
Dan di Italia, kebenaran dapat ditawar.” Aktor Inggris Peter Ustinov pernah
menyampaikan, juga dengan nada bergurau, “untuk mencapai kebenaran, orang
Jerman akan menambahkan sesuatu, orang Perancis mengurangi sesuatu, dan orang
British mengalihkan pembicaraan. Saya tidak membahas mengenai orang Amerika
karena seringkali mereka membuat kesan seolah mereka sudah mengetahui
kebenarannya.” Dengan asumsi bahwa pengamatan ini dilakukan dengan baik, dapat
disimpulkan bahwa kebenaran
benar-benar tergantung dari siapa yang melihatnya. Artinya, kebenaran bukan
selalu berarti kebenaran. Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa pada titik
tertentu, tidak ada suatu apapun yang bernilai universal dalam kebenaran.
Untuk dapat memahami dampak
budaya terhadap bagaimana seseorang memandang mana yang benar dan salah serta
bagaimana mereka mencoba dan melogika tanggung jawab mereka terhadap diri
sendiri maupun orang lain, kita perlu membagi pembahasan ini menjadi beberapa
level. Yang
pertama, budaya berpengaruh terhadap bagaimana sekelompok orang diperlakukan
dengan cara yang berbeda berdasarkan latar belakang budaya mereka – yaitu
dengan mempertanyakan “siapa” yang terlibat didalamnya, pihak mana saja yang
mempengaruhinya dalam pertukaran etika dan pengaruh latar belakang budaya
tersebut terhadap pertukaran yang dilakukan. Yang kedua, budaya juga dapat
mempengaruhi apa yang dimaksud perilaku yang sopan oleh seseorang terhadap
dirinya sendiri dan orang lain – yang seringkali disebut dengan pertanyaan
“apa.” Perbedaan ini perlu diperhatikan karena manajer global yang gagal
memahami perbedaan ini seringkali menganggap perilaku yang wajar sebagai
perilaku yang tidak etis sehingga memicu konflik dan ketegangan dalam
hubungannya dengan orang lain.
Level 1: Penerapan
Peraturan yang Universal atau Fleksibel
|
Level2: Perilaku yang
secara Etis Pantas terhadap Orang Lain
|
Gambar 11.4 Universalisme, Partikularisme dan Kebenaran
Level 1: Apakah Kita Harus
Memperlakukan Semua Orang dengan Standar yang Sama atau Berbeda?
Jawaban dari pertanyaan “siapa” secara
langsung berhubungan dengan pandangan budaya asal orang tersebut mengenai
partikularisme dan universalisme. Konflik ini
dapat dijelaskan melalui konfrontasi antara pejalan kaki dengan pengemudi.
Bayangkan saja anda sedang mengendarai mobil yang dikemudikan oleh rekan anda
dan ia menabrak seorang pejalan kaki. Anda mengetahui bahwa ia melaju terlalu
kencang di jalan yang mengharuskan kecepatan rendah. Anda juga menyadari bahwa
tidak ada seorang saksi lain pun dan pengacara teman anda meminta anda untuk
bersumpah bahwa ia melaju tak terlalu kencang dan sesuai batas kecepatan. Tentunya
jika anda dengan jujur mengakui kecepatan kendaraan pada saat terjadi
kecelakaan, teman anda akan menghadapi konsekuensi hukum yang berat. Apa yang
akan anda lakukan?
Pada
saat dihadapkan pada dilemma seperti ini, orang-orang dari budaya
partikularistik dan universalistik akan berperilaku dengan cara yang berbeda.
(Ingat bagian Bab 3 yang menyatakan bahwa budaya yang universalistik – yang
didasarkan pada peraturan – percaya bahwa semua orang bertanggung jawab untuk
mematuhi aturan yang sama dengan setara sedangkan budaya partikularistik – atau
yang didasarkan pada hubungan – akan memberikan pengecualian untuk
peraturan-peraturan yang didasarkan pada kedekatan hubungan personal atau
situasi khusus.) Pada kasus yang umum terjadi, separuh dari manajer yang
memiliki budaya universalistik akan cenderung menyatakan bahwa hubungan
pertemanan keduanya tidak seharusnya mempengaruhi keputusan, obyektivitas harus
didahulukan dan anda harus bersumpah melawan teman anda. Separuh sisanya akan
mencoba lari dari masalah ini, bukan menyelesaikan masalah, dengan menolak
untuk bersumpah dan tidak membuat pernyataan apapun. Keputusan ini tentu tidak
mudah bagi mereka, karena mereka menyadari bahwa mereka gagal menggabungkan
tugas utamanya sebagai teman maupun dalam administrasi keadilan, namun mereka
memandang hal ini sebagai keputusan yang tidak lebih sulit secara moral
daripada harus berbohong atau menjerumuskan seorang rekan sendiri ke dalam
penjara. Budaya universalistik melihat bahwa sistem yang menggunakan asumsi
bahwa manusia akan mengungkapkan kebenaran (yang tentu akan dilakukan dalam
kondisi yang biasa) atau tidak melakukan sumpah palsu, sebagai suatu sistem
yang lebih masuk akal. Mereka jelas akan menolak sistem dimana manusia bisa seenaknya
memilih kebenaran atau mengarang cerita bohong, karena mereka percaya bahwa sebagai
akibat tindakan tersebut, kehidupan mereka akan menjadi jauh lebih kacau dan
tidak nyaman. Dengan kata lain, mereka membutuhkan perkiraan dunia mereka,
namun memilih untuk tidak ikut serta dalam dunia itu sendiri.
Pada
kasus yang sama, manajer yang memiliki budaya partikularistik merespon skenario
ini dengan cara yang sangat berbeda. Mereka kemudian terbagi menjadi dua kubu
yaitu yang menyatakan bahwa mereka akan berbohong demi kawannya dan separuh
yang lain meminta informasi tambahan sebelum membuat keputusan. Menariknya
mereka tidak berupaya untuk menghindari sumpah sebagai cara untuk lepas dari
dilemma sebagaimana yang dilakukan oleh para universalis. Tindakan ini bukan merupakan
pilihan bagi partikularis karena mereka dari awal hanya peduli dengan
kesejahteraan rekannya juga karena mereka merasa seolah mereka tidak seharusnya
menghindar dari kesempatan memberikan kontribusi dalam menciptakan keadilan.
Oleh
karena itu, universalis akan berupaya untuk menekankan norma dan nilai obyektif
serta perkiraan yang tepat sedangkan partikularis akan cenderung mengutamakan
hubungan personal, subyektif dan ambiguitas. Kedua keputusan ini pada
hakikatnya etis sekaligus tidak etis, meskipun jelas keduanya saling
bertentangan satu sama lain. Penilaian kinerja suatu organisasi misalnya, dapat
dilakukan dengan cara yang obyektif dengan standar yang telah ditentukan
sebelumnya bagi semua karyawan. Metode ini tentunya bersifat universalistik
sebagaimana yang dilakukan di negara-negara Barat dan juga dalam buku-buku
manajemen SDM. Dalam budaya lain seperti partikularistik, kondisi karyawan
seperti latar belakang, masalah pribadi juga dipertimbangkan dalam memberikan
penilaian kinerja dan perilaku. Sehingga, muncul berbagai pertanyaan seperti
ini: Mengapa kita dianggap salah jika kita memberikan penghargaan dan hadiah
bagi orang-orang yang telah bekerja dengan keras untuk mencapai hasil yang sama
yang didapatkan rekan sederajat yang lain yang memiliki kemampuan lebih baik?
Masalah ini sesungguhnya bukan mengenai siapa yang benar atau salah tetapi
mengenai kerangka acuan apa yang digunakan dalam memperkirakan hal ini.
Pilihan-pilihan
keputusan ini hanya akan masuk akal dalam budaya mereka sendiri, bukan di
budaya asing, tetapi hal ini bukan berarti keputusan ini tidak masuk akal.
Pakar antropologi dari Universitas Columbi, Lawrence Rosen, memisalkan keadaan
ini dalam budaya Barat dan negara-negara Islam dengan sistem hukum yang berlaku
di masing-masing negara. Di Barat, properti secara hukum dilihat sebagai hak
milik perseorangan (siapa yang memiliki tanah ini?) sehingga pandangannya
bersifat obyektif. Sebaliknya, hukum Islam menyatakan bahwa properti perlu
dilihat dalam hubungannya dengan orang lain (siapa yang berhubungan atau
memerlukan tanah ini?) sehingga sifatnya subyektif. Karena Islam tidak mengenal gagasan diri yang
dapat dibagi, kekuasaan bersifat kelembagaan sekaligus personal, yang
menyebabkan para hakim (juga manajer) diharapkan mengambil keputusan tanpa
secara sadar mengesampingkan perasaan dan kecenderungan perilaku personal. Para
hakim akan membuka batasan keterikatan hubungan kekerabatan seluas-luasnya
untuk memastikan adanya hutang budi dari pihak-pihak yang saling bersengketa,
sehingga mendorong piha tersebut untuk bernegosiasi dan mengambil keputusan
berdasarkan asas kekeluargaan bukan berdasarkan penekanan pada hak-hak yang
mereka tuntut. Hakim akan memperkirakan kehandalan saksi sesuai dengan sifatnya
dan intensitas ikatan saksi, bukan pada obyektifitas mereka, dan para hakim
akan mengecek fakta-fakta menurut penilaian orang tersebut dan apa yang terjadi
di masa lalu, bukan dengan mengamati kondisi yang terjadi pada saat itu. Rosen
juga menekankan bahwa karena jaringan dan hubungannya yang lebih luas,
orang-orang yang berpendidikan dan yang lebih kaya memiliki standar hukum yang
lebih tinggi dalam Islam. Bagi para manajer, kenampakan etika yang akan
dihadapi juga demikian. Kontrak bisnis
sangat tergantung pada jaringan serta kontak personal dan kontrak bisnis juga
bersifat sementara apabilan kondisnyanya berubah daam budaya yang
partikularistik dibanding universalistik.
Oleh
karena itu, dari sudut pandang yang sepenuhnya obyektif, memperlakukan orang
dengan “setara” tanpa memperhatikan siapa mereka (sebagaimana para universalis
berpendapat) atau secara “berbeda” berdasarkan keanggotaan dalam suatu kelompok
(sebagaimana pendapat partikularis) secara etika keduanya bersifat netral.
Keduanya akan menjadi benar atau salah apabila kita menambahkan sistem nilai
kita sendiri dalam penilaiannya.
Level 2: Perilaku seperti apa yang
dianggap pantas?
Kita telah mempelajari bahwa dalam menganalisis
pertukaran etika, kita perlu memperhatikan dari kelompok budaya saja
pihak-pihak yang terlibat dalam pertukaran tersebut – atau yang disebut
pertanyaan “siapa” – dan dampak dari asumsi dasar yang digunakan oleh
universalis dan partikularis. Selain itu, kita perlu melihat bagaimana cara
budaya memandang tuntutan etika dan implikasi dari cara-cara ini dalam
manajemen internasional. Dengan kata lain, sekarang kita akan menuju pembahasan
mengenai pertanyaan “apa.” Yaitu pertanyaan mengenai, bagaimana caranya budaya
dapat mempengaruhi apa yang dianggap orang sebagai perilaku yang secara etika
pantas atau dapat diterima terhadap diri mereka sendiri dan orang lain?
Bagaimana seharusnya seseorang diperlakukan menurut sudut pandang etika yang
pantas dari berbagai macam budaya?
Dikatakan
bahwa kebenaran merupakan korban yang pertama ketika terjadi konflik. Kita
seringkali mendengar bahwa manajer mengeluh mengenai cabangnya di negara lain
yang gagal menjalankan komitmen, tidak mampu menjelaskan sudut pandang mereka
dalam masalah ini dan terkadang tidak mampu mengungkapkan kebenaran. Tentu
dengan sudut pandang satu budaya tertentu, perilaku tersebut dapat dikatakan
sebagai kebohongan. Pertanyaannya adalah perlukah kita memandang makna
kebenaran dengan pendekatan budaya yang lain sebelum mengambil kesimpulan bahwa
pihak tersebut telah berperilaku tidak etis?
Banyak
contoh yang membuktikan bahwa ketika seseorang mengatakan sesuatu yang
menurutnya salah, penilaian ini sebenarnya didasarkan pada filter yang berbeda
kognitif (yang dipengaruhi oleh budaya orang tersebut) dari apa yang
dinilainya. Contoh ini bukan berarti menunjukkan adanya konflik etika, karena
kasus yang sering terjadi adalah kesalahpahaman dan dapat dengan mudah
diselesaikan ketika miskomunikasi terdeteksi dan diperbaiki. Pada kasus lain,
salah satu pihak yang melakukan pertukaran nilai etika membuat suatu pernyataan
yang secara formal tidak benar. Tentunya ketika kesalahaan ini ditemukan, pihak
yang lain akan menuduh si pembicara tadi salah paham. Kita tidak akan membahas
mengenai dari budaya mana si pembicara tadi berasal. Bahkan, kesalahpahaman
mengenai kebenaran dapat ditemukan di semua budaya, dan sebagian besar budaya
juga percaya bahwa kebohongan tidak sepatutnya diucapkan. Yang akan kita bahas
di sini adalah adanya kesalahpahaman yang disengaja ketika dasar pemikiran
budaya digunakan dalam menilai. Yaitu ketika satu pihak merasa tersinggung,
pihak lain akan menganggap hal ini wajar dalam pertemuan berbagai nilai dan
budaya. Kasus seperti ini seringkali diikuti oleh konflik yang serius.
Perhatikan
contoh berikut ini: seorang manajer HR keturunan China dalam sebuah perusahaan
multinasional asal Amerika Latin yang berkedudukan di Shanghai mengatakan
kepada salah satu penulis buku ini mengenai sulitnya meluruskan kebenaran dan
kesalahpahaman antar karyawan asing di perusahaannya. Para karyawan asing ini
akan mendekati manajer kemudian memohon cuti libur yang menurut manajer ini
tidak perlu diambil terutama dalam hubungannya dengan jadwal kerja. Meskipun di
negara asal para karyawan asing ini para manajer akan dengan mudah mengatakan
tidak, di China hal ini dianggap kasar atau kurang pantas. Oleh karena itu,
para manajer akan cenderung memberikan jawaban “akan saya pertimbangkan dan
nanti saya kabari lagi.” Tentunya ada beberapa karyawan asing yang tidak
memiliki pengalaman bahwa mereka menerima jawaban tidak dalam cara yang halus
dan tidak membuat kedua pihak merasa malu. Mereka terus menunggu manajer member
kabar dan karena kemudian hal ini tak pernah terjadi, mereka menganggap si
manajer pembual dan mereka telah ditipu. Masalah yang terjadi disini bukan
perkara makna global tentang kebenaran karena pada kenyataannya tidak ada
karyawan China yang pernah salah memaknai jawaban dibalik respon yang terlihat
normal tersebut. Di samping itu, juga tidak ada yang menyatakan perilaku yang
di permukaan tampak menghindari dan non-verbal tersebut tidak jujur atau
menyesatkan.
Contoh
lain di Eropa Timur dan Rusia yang dibahas oleh Eileen Morgan mengungkapkan
bahwa sebagian konflik antara Barat dan beberapa negara bekas komunis bersumber
dari kesalahpahaman mengenai konsep dan makna korupsi. Dalam sejarah bangsa
Rusia, bisnis bukan merupakan konsep yang secara alami ada dalam bahasa mereka.
Tidak ada satu kata pun dalam bahasa Rusia asli untuk merujuk pada aktifitas
ini. Kata ‘biznez’ yang kemudian menjadi
bentuk penyesuaian kata ‘business’ dalam bahasa Rusia, masih membawa kelemahan
budaya yang sangat kental dari zaman komunis dan masih dikaitkan dengan gagasan
korupsi dan eksploitasi. Tidak seperti
orang Barat, orang Rusia memiliki pandangan etika yang berbeda m mengenai
korupsi. Korupsi dipandang sebagai sebuah perilaku yang melembaga dan hirarkis
yang disebabkan oleh kurangnya pengendalian individu. Etika, di sisi lain,
dipandang sebagai serangkaian prinsip yang mengatur hubungan individu satu
dengan yang lain. Oleh karena itu, korupsi dipandang sebagai tindakan dalam
lingkungan kelembagaan yang, suka atau tidak suka, harus dilaksanakan. Perilaku
individu tidak selalu mencerminkan adanya atau tidaknya korupsi. Pencurian
seseorang dari orang lain dianggap sebagai pelanggaran terhadap etika namun
tidak demikian adanya dengan korupsi. Implikasinya sangat signifikan. Jika sebuah institusi secara sistematis
berperilaku korup, maka perilaku individu yang melawan bisa dipastikan tidak
akan bertahan lama. Bahkan ketika korupsi kemudian menjadi bagian dari
lingkungan bisnis, konsep seperti perasaan bersalah dan malu kemudian akan
dipandang sebelah mata karena keinginan untuk menghilangkan korupsi pun tidak
ada. Ketika korupsi telah menjadi bagian dari lembaga, tindakan ini diharapkan
akan muncul dalam aktivitas sehari-hari. Masalah yang kemudian terjadi adalah
apabila semua pihak yang akan terlibat dalam kerjasama harus memahami pola ini
termasuk para manajer global yang hanya memiliki sedikit pengalaman dengan
budaya korupsi di kawasan ini.
Selanjutnya,
mari kita menengok masalah penyuapan (akan dibahas lebih rinci di bagian
selanjutnya). Negara-negara Barat cenderung memandang penyuapan sebagai sebuah
praktek yang tidak adil yang menghancurkan niat baik banyak pihak dalam
melakukan transaksi bisnis internasional. Sebaliknya, bagi negara seperti
Nigeria, penyuapan merupakan katalisator dalam hubungan bisnis, bukan
penghambat, dan oleh karena itu tidak lagi dianggap negatif. Penyuapan juga
dianggap wajar di berbagai negara, sebagai sebuah ciri lingkungan sosial
seperti yang dijelaskan dalam contoh Rusia sebelumnya. Akibatnya, kita dapat
dengan mudah memperkirakan bahwa akuntabilitas seseorang yang terbiasa
melakukan tindakan demikian dipertanyakan oleh pelaku bisnis dengan budaya
Barat.
Beberapa
pihak telah menyatakan bahwa masalah utama korupsi dan bentuk perilaku tak etis
lainnya adalah bahwa tindakan tersebut menunjukkan kurangnya kehandalan dalam
interaksi sosial. Hal ini bisa jadi mengandung kebenaran untuk beberapa kasus. Meskipun
demikian, di tempat dimana korupsi telah menjadi bagian dari sistem, manusia
seringkali justru mengharapkannya dan dampak negatifnya secara otomatis dapat
dihapuskan. Sistem yang korup bukan berarti tidak dapat diandalkan, namun hanya
korup. Dalam kondisi tersebut, banyak perusahaan yang menghindari lingkungan
kerja yang demikian dan mencari pilihan lain atau partner lain yang lebih
jujur. Hal ini dapat dimaklumi dan menjadi satu-satunya reaksi yang masuk akal
bagi suatu sistem hukum yang melarang korupsi atau bagi para pengambil
keputusan yang tidak ingin terlibat apa yang menurut mereka dianggap sebagai
perilaku tak etis. Namun ada dampak yang mereka rasakan akibat tindakannya ini.
Pertama, hanya pihak yang merasa mereka nyaman dalam kondisi yang korup yang
dapat beroperasi sehingga melipatgandakan usaha yang harus diambil oleh pihak
luar yang ingin masuk ke lingkungan tersebut dan mengubah situasi. Kedua, apa yang akan terjadi dengan mereka yang tidak
memiliki pilihan dan terpaksa hidup di lingkungan yang korup, seperti
orang-orang yang hidup di lingkungan lokal negara tersebut? Bagaimana caranya
bagi keluarga yang miskin yang terjebak dalam kondisi demikian bisa mendapatkan
kesejahteraan, padahal hanya mereka yang cukup kaya untuk pergi dari negeri
tersebut maka baru mereka dapat berperilaku sesuai etika?
E.
Tantangan
dan Konflik Kelembagaan
Berbeda dengan
konflik dan tantangan etika (seperti norma atau moral), konflik kelembagaan
berfokus pada bagaimana manusia dan masyarakat memandang fungsi sosial dari
hukum, peraturan dan kebijakan publik. Fokus yang akan kita bahas di
sini adalah mengenai apa saja yang diprasyaratkan dalam hukum atau digalakkan
oleh pemerintah dan organisasi antar pemerintah (seperti OECD, ILO dan PBB).
Kebijakan-kebijakan ini berfokus pada apa yang benar secara hukum, bukan pada
apa yang benar secara moral atau budaya. Maka pembahasan kali ini secara logis
akan dimulai dengan melihat hukum nasional dan internasional serta pedoman
kebijakan publik yang mempengaruhi perusahaan dan perilaku manajerial lintas
batas.
Sebagai respon terhadap
pertumbuhan korupsi dalam bisnis dan politik yang melibatkan begitu banyak
perusahaan di seluruh dunia, sejumlah pemerintah selama beberapa tahun terakhir
ini mengembangkan – meskipun lambat – upaya untuk memberantas masalah korupsi
dan penyuapan serta masalah keadilan lainnya. Salah satunya adalah Larangan
Praktek Korupsi Luar Negeri AS (FCPA). Pada dasarnya, FCPA melarang perusahaan
asal AS sekaligus karyawannya atau agennya melakukan praktek suap dalam bentuk
apapun kepada lembaga pemerintahan mana pun untuk mengamankan atau menguasai
bisnis. Secara spesifik, aturan ini melarang 5 kategori tindakan:
1.
Pembayaran terhadap pejabat asing, partai politik asing, atau calon
pejabat asing, atau untuk tujuan mempengaruhi, semua tindakan atau keputusan
untuk mendapatkan, menguasai atau membantu sebuah perusahaan mendapatkan usaha
2.
Menerima dana di luar perhitungan akuntansi atau dana pelicin
3.
Dengan sengaja membuat pertanyaan yang keliru dalam buku, rekaman dan
dokumen pendukung catatan keuangan perusahaan seperti pembayaran jasa atau
pembayaran pengeluaran
4.
Terlibat dalam pembuatan rekaman anggaran yang melebihi kenyataan, kurang
atau praktek serupa dengan tujuan mempengaruhi transaksi atau pembayaran yang
tidak semestinya yang menyebabkan pencatatan tidak akurat dalam buku perusahaan
5.
Melakukan pembayaran yang, baik sebagian maupun secara keseluruhan,
digunakan untuk tujuan selain yang tertera dalam dokumen pendukung atau
menyetujui tindakan pembayaran tersebut.
Setelah
aturan FCPA ini disetujui, banyak perusahaan di AS yang awalnya mengeluh dengan
menyatakan bahwa hukum ini menempatkan mereka pada kerugian secara kompetitif
dibandingkan negara lain dalam melakukan bisnis di negara-negara yang dikenal
korup. Konflik ini dapat dituntaskan ketika OECD (yang tujuan utamanya adalah
mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis pasar dan pembangunan di seluruh dunia) mengumpulkan
anggotanya dan secara kolektif menyepakati standar mengenai definisi penyuapan
dan pelarangan suap bagi pejabat asing dalam bisnis internasional.
Meskipun
pemerintah AS menganggap penyuapan dan korupsi sebagai tindakan yang tidak taat
hukum namun OECD yang bermarkas di Paris menganggap tindakan keduanya sebagai
tindakan yang tidak etis. Oleh karena itu, pedoman OECD berisi serangkaian
pedoman normatif, yaitu aturan yang dilakukan secara sukarela, bagi manajer
global dan perusahaannya yang bertujuan untuk mengembangkan ekonomi
negara-negara yang kurang berkembang secara berkelanjutan sekaligus melindungi
negara-negara tersebut dari eksploitasi oleh perusahaan-perusahaan besar dari
negara-negara industri. Pedoman ini bertujuan untuk memastikan bahwa aktifitas
operasional perusahaan-perusahaan ini dilaksanakan sejalan dengan kebijakan
pemerintah di negara tersebut, untuk memperkuat andasan kepercayaan bersama
antara perusahaan global dengan masyarakat lokal dimana perusahaan tersebut
berada, untuk membantu memperbaiki iklim investasi asing, dan untuk
meningkatkan kontribusi perusahaan-perusahaan global dalam pembangunan
berkelanjutan.
Meskipun
perincian pedoman OECD terletak di Lampiran B, kita akan memfokuskan pembahasan
pada tiga bagian dalam pedoman tersebut yang berhubungan dengan penyuapan dan
korupsi, hubungan kerja dan tata laksana ramah lingkungan. Tiga isu ini
merupakan tantangan utama yang dihadapi oleh manajer global setiap harinya. Masalahnya
adalah sebagai berikut: sebagian besar filsuf moral, pakar etika bisnis,
pelatih bisnis dan penulis lainnya yang berhubungan dengan etika manajemen
menunjukkan pesan yang jelas bahwa pelanggaran terhadap standar etika dan
praktek yang adil seperti yang tertera dalam pedoman OECD merupakan pelanggaran
terhadap integritas moral yang tidak dapat dibenarkan sama sekali. Artinya,
doktrin etika harus dipatuhi, titik. Meskipun demikian, sebagaimana ditulis
oleh filsuf Inggris pada abad keduapuluh Alfred North Whitehead, manusia
melihat segala sesuatu secara umum namun hidup dalam segala sesuatu yang rinci.
Artinya, para penulis yang membahas mengenai etika manajerial dan perusahaan
jarang sekali berhadapan dengan dilemma etika yang mereka tuliskan. Padahal
tantangan tersebut sering dihadapi oleh para manajer yang berada di lokasi yang
terkadang terisolasi dan budaya yang juga terisolasi, menghadapi konflik yang
berhubungan dengan kebutuhan, permintaan, harapan dan hukum. Hal ini bukan
hanya teoritis, namun sangat nyata dan pekerjaan mereka sangat tergantung hal
tersebut.
Para
wisatawan yang berpengalaman mengungkapkan bahwa standar etika sangat
bervariasi antara satu budaya dengan budaya lainnya, sebagaimana telah dibahas
sebelumnya. Kenyataannya ini memunculkan pertanyaan: siapa yang akan menentukan
mana yang etis dan mana yang tidak? Fakta bahwa pedoman OECD disetujui oleh
negara-negara industri (yang juga negara-negara kaya) bisa membantu kita
memahami kenyataan ini. Nigeria bukan
merupakan salah satu negara menandatangani, kemungkinan besar karena Nigeria
akan kehilangan pendapatan akibat pedoman ini. Singkatnya, menerapkan pedoman
ini bisa jadi lebih sulit dari yang dibayangkan. Memang terdapat banyak tekanan
baik dari pihak yang mendukung maupun menentang pedoman ini. Dan para global
manajer terjebak di antara kedua pilihan tersebut. Hal ini bukan berarti bahwa
keberadaan pedoman ini tidak dianggap sebagai kemajuan di bidang manajemen dan
perdagangan internasional, namun hal ini menunjukkan tingginya tingkat
kesulitan dalam melakukan bisnis di sebuah lingkungan yang jamak dan seringkali
penuh dengan konflik.
Kesimpulannya,
terdapat beberapa hal yang perlu ditekankan. Sebagaimana ditulis sebelumnya,
meskipun FCPA memiliki kekuatan hukum, OECD tidak memilikinya. Penegakan lax
ini hanya menambah dilemma manajerial terhadap apa yang harus dilakukan. Dengan
adanya sedikitnya hukuman dan tekanan kompetisi antar perusahaan sebagai
dampaknya, tidak mengherankan bahwa sogokan dan korupsi – dengan definisi apapun
– sangat lazim dilakukan. Dengan pemahaman terhadap masalah ini, mari kita
mulai membahas mengenai penyuapan dan korupsi.
E.1. Penyuapan dan Korupsi
Alasan yang paling utama di balik banyaknya hukum dan
peraturan yang mengatur perdagangan internasioanal adalah ketakutan –
baik nyata maupun persepsi – bahwa beberapa perusahaan akan menggunakan taktik
yang kotor (menurut definisi mereka) untuk mendapatkan keuntungan kompetitif
atau untuk mengeksploitasi pihak lain. Sebagian besar masalah ini berwujud
masalah korupsi dan penyuapan. Korupsi dan penyuapan bisa menjadi sebab utama
sulitnya melakukan bisnis di negara lain, bukan hanya karena sifat alami
tindakan ini yang tidak etis dan meningkatnya pengeluaran yang tidak dapat
dibenarkan, namun juga karena hal ini menyebabkan ketidakpastian tindakan
pemerintah atau kompetitor di masa depan. Beberapa organisasi telah berupaya
mengklasifikasikan negara-negara berdasarkan tingkat dimana permasalahan
korupsi menjadi masalah bagi bisnis internasional. Salah satunya yaitu Indeks
Korupsi Politis, gambar 11.5. Dengan menggunakan indeks ini, negara-negara
seperti Nigeria, Azerbaijan atau Venezuela (dengan skor kurang dari 2,5 dari
10) lebih cenderung melakukan korupsi dibandingkan Finlandia, Denmark dan
Selandia Baru (dengan skor sekitar 9,5). Sebagaimana yang terjadi dengan semua
jenis indeks, peringkat yang ditunjukkan bisa jadi tidak akurat dan berupaya
menekankan pada perlunya investigasi lebih dalam sebelum membuat keputusan
investasi. Bahkan, pemeringkatan seperti ini terkadang mengejutkan. Misalnya,
meskipun banyak yang menganggap AS dan Kanada sebagai saudara yang sangat
mirip, peringkat keduanya berbeda secara signifikan.
Negara
|
Indeks
Korupsi
|
Negara
|
Indeks
Korupsi
|
Negara
|
Indeks
Korupsi
|
Argentina
|
2,8
|
Hungaria
|
4,9
|
Portugal
|
6,3
|
Australia
|
8,6
|
India
|
2,7
|
Rusia
|
2,7
|
Austria
|
7,8
|
Indonesia
|
3,1
|
Singapura
|
9,3
|
Azerbaijan
|
1,4
|
Irlandia
|
7,1
|
Slovakia
|
3,7
|
Belgia
|
7,1
|
Israel
|
7,3
|
Afrika
Selatan
|
4,8
|
Brazil
|
4,0
|
Italia
|
5,2
|
Korea
Selatan
|
4,5
|
Kanada
|
9,0
|
Jepang
|
7,1
|
Spanyol
|
7,1
|
Chile
|
7,5
|
Luksemburg
|
9,0
|
Swedia
|
9,3
|
China
|
3,5
|
Malaysia
|
4,9
|
Swiss
|
8,5
|
Kolombia
|
3,6
|
Meksiko
|
3,6
|
Taiwan
|
5,6
|
Ceko
|
3,7
|
Belanda
|
9,0
|
Thailand
|
3,2
|
Denmark
|
9,5
|
Selandia
Baru
|
9,5
|
Turki
|
3,2
|
Finlandia
|
9,7
|
Nigeria
|
1,2
|
Inggris
|
8,7
|
Perancis
|
6,3
|
Norwegia
|
8,5
|
AS
|
7,7
|
Jerman
|
7,3
|
Filipina
|
2,6
|
Venezuela
|
2,5
|
Yunani
|
4,2
|
Polandia
|
4,0
|
|
|
Sumber: Data dari The Economist,
Pocket World in Figures, London 2008. Catatan: skala ini berkisar pada angka
1,0 hingga 10,0 dimana 10,0 menunjukkan perilaku yang etis dan tidak korup.
Gambar
11.5 Indeks Korupsi di Berbagai Negara
Keberadaan
ekonomi bawah tanah di seluruh dunia semakin menyulitkan gambaran ini. Ekonomi bawah tanah adalah kegiatan
ekonomi yang melibatkan transaksi bisnis yang tidak tercatat dalam buku. Tidak
ada catatan publik, tidak membayar pajak dan tidak memperhatikan aspek hukum.
Kegiatan ekonomi bawah tanah bervariasi dari pembayaran bagi pengasuh atau
seseorang yang membantu merapikan rumput hingga pembelian persediaan untuk
bisnis seseorang di luar jangkauan peraturan pemerintah atau yang tidak nampak.
Ekonomi bawah tanah ini ada dimana-mana, namun sangat lazim di beberapa negara.
Menurut The Economist, ekonomi bawah tanah di Amerika Serikat menyumabngakn
kurang dari 10 % dari total PDB. Sebaliknya di Brazil, angkanya mencapai 40
juta dari total 170 juta angkatan kerja yang bekerja di sektor ekonomi bawah
tanah. Perbedaan tersebut membawa implikasi yang jelas dalam berbisnis.
Pedoman
OECD menempatkan beberapa penekanan yang penting terkait korupsi dan penyuapan.
Secara singkat, pedoman ini meliputi beberapa hal di bawah ini (lihat Lampiran
B untuk perinciannya):
·
Manajer (beserta perusahaannya)
tidak diperbolehkan melakukan pembayaran kepada pejabat publik dengan tujuan
mengamankan kontrak.
·
Manajer hanya boleh memberikan gaji
kepada agen dengan tujuan yang sah.
·
Manajer harus mengutamakan kesadaran
dan kesukarelaan karyawan dalam memenuhi kebijakan perusahaan terkait penyuapan
dan pemerasan.
·
Manajer harus mengadopsi sistem
pengendalian manajemen yang menekan penyuapan dan praktek korupsi, serta
mengadopsi praktek akuntansi dan audit untuk aspek finansial dan perpajakan
yang mencegah adanya akun rahasia atau yang di luar buku.
·
Manajer tidak diperbolehkan
memberikan kontribusi illegal untuk calon pejabat pemerintahan atau partai
politik atau organisasi politik yang lain.
Apabila pedoman ini diikuti, kasus Halliburton mungkin
akan berbeda hasilnya. Itulah mengapa kasus tersebut menjadi tidak dapat
dijabarkan dengan jelas. Secara sederhana, para manajer di Halliburton – dan
perusahaan pada umumnya – menghadapi sejumlah tekanan perlawanan yang
menyebabkan kasus menjadi tidak jelas. Dapat dikatakan bahwa jawaban yang
“benar” tergantung pada siapa yang melihatnya. Maksudnya, pada waktu tertentu,
pertanyaan mengenai perilaku etis sangat bervariasi tergantung pada bagaimana
masyarakat memahami situasi dimana potensi dilemma terjadi.
Salah
satu cara yang dapat digunakan untuk memahami tekanan perlawanan yang dihadapi
oleh para manajer adalah dengan menggunakan analisis tekanan lapangan, yaitu
sebuah mekanisme yang secara sederhana mengidentifikasikan tekanan terhadap
nilai-nilai, kepercayaan, perilaku atau tindakan. Analisis seperti ini dapat
dipergunakan untuk memahami dilemma yang seringkali dihadapi oleh manajer-manajer
global di lapangan. Sebagaimana dapat dilihat di gambar 11.6, keputusan yang
dianggap etis (sebagaimana didefinisikan oleh satu budaya tertentu) seringkali
disanggah dengan beberapa alasan sehingga menjadi sebuah keputusan yang tidak
etis. Inilah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi para manajer global.
Tekanan/dukungan terhadap pedoman
-membangun reputasi perusahaan terkait
kejujuran dan integritas
-menghindari hukuman akibat aktivitas
illegal dari negara asal maupun lokal
-melindungi karyawan dari tekanan luar
-mengidentifikasikan perilaku illegal
melalui pengawasan berkala
-mendukung pemerintah lokal yang bebas
korupsi
|
Tekanan perlawanan
terhadap pedoman OECD
-dapat mengancam kesempatan bisnis lokal yang baru akan muncul
-beresiko memunculkan aksi pembalasan dari pemerintah
-bisa jadi akan gagal dalam melindungi perusahaan dari tindakan
korup oleh kompetitor
-dapat mengancam pendapatan dan keuntungan perusahaan
|
Pedoman anti penyuapan dan korupsi
-melarang penyuapan dan pembayaran illegal
-melawan korupsi secara terang-terangan
-menginformasikan kepada karyawan mengenai
kebijakan anti korupsi
-mengawasi potensi korupsi dalam perusahaan
-melarang kontribusi terhadap kampanye
lokal
|
Untuk
proses kerjanya, mari kita misalkan sedang bekerja di perusahaan asal New York
yang berupaya untuk memperkuat bisnisnya di pasar konsumen China yang sedang
tumbuh pesat. Misalkan juga, promosi dan masa depan perusahaan sangat
tergantung pada keberhasilan anda mengamankan transaksi dengan China ini. Anda
juga menyadari bahwa pemerintah China memiliki peraturan yang longgar, inspeksi
yang buruk dan penegakan prosedur yang rendah dalam proses produksi yang
dilakukan seperti pembuatan mainan anak-anak, resep obat-obatan, permen, produk
olahan susu, bahkan makanan anjing. Dan misalkan pula bahwa pemerintah negara
anda secara konsisten menutup mata terhadap pelanggaran hak komsumen karena
tidak ingin merusak hubungan dengan rekan dagang penting. Pertanyaannya:
bagaimana upaya yang anda lakukan untuk mencapai sasaran perusahaan anda – dan
juga tanggung jawab pribadi anda – untuk mengamankan transaksi perdagangan baru
dengan China? Sejauh mana anda menentukan batasannya? Resiko apa yang dapat
diambil dalam kasus ini? Dan apakah anda bersedia membahayakan pekerjaan anda
dan menolak melakukan transaksi tersebut?
Kesimpulan
dari analisis ini yaitu bahwa para manajer harus mengingat dua hal terkait
tantangan etika ini. Pertama, dengan nama dan bentuk yang berbeda, korupsi
dapat ditemukan di berbagai belahan dunia dalam lingkungan politik
dan bisnis global, karena hal ini bukan hanya terjadi di negara-negara miskin.
Kedua, para manajer seringkali memiliki pilihan terhadap bagaimana mereka akan
merespon korupsi. Di beberapa kasus, perusahaan bisa memilih untuk tidak
terlibat dalam perilaku tersebut dan berpegang teguh terhadap aturan mereka
atau melakukan bisnisnya di lokasi yang lain. Meskipun sikap ini akan
menyebabkan kerugian jangka pendek, namun juga akan memberikan hasil jangka
panjang. Yang perlu diperhatikan oleh para manajer dan perusahaannya adalah
perlunya memahami untuk tujuan apa mereka melakukan bisnis dan tidak
mengorbankan prinsip demi janji-janji jangka pendek.
E.2. Hubungan
Kerja
Salah satu alasan mengapa perusahaan-perusahaan global
membangun berbagai fasilitas di berbagai belahan dunia adalah untuk mengurangi
biaya produksi. Pada umumnya yang ditekan adalah biaya untuk upah tenaga kerja.
Selain itu, apakah perusahaan global memiliki kewajiban untuk memberikan buruh
setempat hak-hak dan tunjangan buruh seperti yang diberikan kepada karyawannya
di negara asalnya? Apa saja tunjangan dan hak-hak buruh yang diberikan dan
bersifat universal bagi semua buruh tanpa memandang lokasi dan yang manakah hak
dan tunjangan yang diberikan berdasarkan lokasinya? Pertanyaan ini dapat
dijawab dengan mengacu pada bagian kedua pedoman OECD yang membahas mengenai
hubungan kerja.
Pedoman
ini membahas mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap karyawan lokal.
Menurut pedoman ini, berdasarkan kerangka hukum, peraturan, praktek penempatan
tenaga kerja dan hubungan buruh yang berlaku, perusahaan global harus
melaksanakan aturan-aturan di bawah ini (lihat Lampiran B):
·
Para manajer (beserta perusahaannya)
harus menghargai hak-hak karyawannya untuk diwakilkan dalam serikat dagang dan
organisasi buruh lainnya dan terlibat dalam negosiasi perencanaan.
·
Manajer harus melaksanakan standar
penempatan kerja dan hubungan industri yang setara dengan standar bagi karyawan
di negara lokasi.
·
Seoptimal mungkin, manajer harus
melengkapi, melatih dan mempersiapkan peningkatan kualitas tenaga kerja lokal
melalui kerja sama dengan perwakilan karyawan dan apabila memungkinkan juga
dengan pemerintah yang berwenang.
·
Dalam mempertimbangkan perubahan
yang akan menimbulkan dampak terhadap karyawannya, manajer harus memberikan
pemberitahuan yang masuk akal kepada perwakilan karyawannya dan bekerja sama
dengan mereka beserta pemerintah yang berwenang untuk melakukan mitigasi dampak
merugikan seoptimal mungkin.
·
Manajer harus menerapkan kebijakan
penempatan tenaga kerja termasuk penempatan kerja, pemecatan, pengupahan,
kenaikan jabatan dan pelatihan tanpa diskriminasi.
·
Manajer tidak diperbolehkan
mengancam akan memindahkan unit operasi atau karyawan dari negara asalnya
dengan tujuan mempengaruhi negosiasi yang tidak wajar atau untuk menghindari
pemberian hak membentuk organisasi.
·
Pedoman Hubungan Kerja
-mendukung hak karyawan untuk diwakilkan
dan tawar menawar kolektif
-mendukung standar kerja yang berlaku
-melatih tenaga kerja lokal
-memberikan pemberitahuan yang masuk akal
terkait pemecatan atau penutupan pabrik
-mendukung kesempatan kerja yang setara
|
Dukungan terhadap
pedoman OECD
-membangun reputasi perusahaan sebagai
pengelola karyawan yang baik
-meningkatkan penerimaan dan kepemilikan
karyawan
-membantu membangun tenaga kerja yang kompetitif melalui komitmen
dan motivasi kepada perusahaan
-mengembangkan keahlian jangka panjang
bagi karyawan
-menghindari tindakan hukum oleh karyawan
atau pemerintah lokal
|
Tekanan
perlawanan terhadap pedoman OECD
-menurunkan fleksibilitas kebijakan SDM perusahaan
-meningkatkan biaya pengeluaran untuk tenaga kerja
-menurunkan kendali atas upah dan kondisi kerja
-meningkatkan biaya produksi total
-beresiko kehilangan keuntungan kompetitif dalam pasar
|
Manajer harus memperbolehkan perwakilan yang dipilih dan disepakati untuk mengadakan negosiasi tawar-menawar kolektif dengan perwakilan-perwakilan manajer yang dipilih untuk membuat keputusan mengenai topik yang dibicarakan dalam negosiasi.
Gambar 11.7 Tantangan Manajemen: pedoman
hubungan kerja dalam OECD
Terkait dengan penyuapan dan korupsi, terdapat
beberapa tekanan baik yang mendukung maupun yang menentang pedoman OECD, seperti
yang ditunjukkan di gambar 11.7. Pada kasus ini kita dapat melihat dengan jelas
tantangan manajerial. Yang menarik adalah bahwa lokasi dimana kebijakan SDM ini
diambil. Apakah di Berlin, Tokyo, atau New York, oleh pimpinan cabang
perusahaan atau oleh manajer lokal dan regional yang cenderung lebih sensitif
terhadap kondisi dan situasi setempat?
Contoh
penerapan yang baik dapat kita ambil dari kebijakan SDM Sony dan Samsung di
pabrik perakitan elektronik di Thailand. Samsung menerapkan kebijakan SDM yang
secara garis besar ditentukan di Tokyo dan memperlakukan karyawan lokal mereka
sama seperti karyawan outsourcing
sedangkan Samsung mengambil pendekatan lokal yang dibuat di Thailand dan
memperlakukan karyawannya sebagaimana karyawan resmi Grup Samsung. Data
penelitian yang dihasilkan menunjukkan bahwa komitmen karyawan, perilaku kerja,
dan produktivitas karyawan Samsung lebih tinggi. Hal ini bukan berarti bahwa
kita dapat mengambil kesimpulan universal, karena penerapan standar etika yang
lebih baik tidak selalu berarti kinerja yang lebih baik. Namun kita kasus ini
menggarisbawah pentingnya perhatian lokal manajer mengawasi dampak dari
kebijakan SDM di perusahaan terkait dengan kondisi lokal.
E.3. Tata Laksana Lingkungan
Apa saja tanggung jawab perusahaan global terhadap
masyarakat setempat dimana mereka melakukan bisnis? Apa saja tanggung jawab
mereka dalam membantu pengembangan ekonomi lokal? Apa saja tanggung jawab
mereka dalam perlindungan lingkungan? Apa saja tanggung jawab mereka dalam
memfasilitasi keadilan sosial? Bidang-bidang umum inilah yang menjadi bagian
dari tanggung jawab sosial perusahaan dan dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Mari kita mulai dengan melihat bagaimana dampak perusahaan global terhadap
pembangunan ekonomi lokal, apakah negatif atau positif.
Perusahaan-perusahaan
global seringkali dikritik karena tidak sensitif terhadap kebutuhan lingkungan
sehingga banyak perusahaan yang kemudian memilih untuk menempatkan pabriknya di
negara yang memiliki hukum lingkungan dan pencemaran yang longgar seperti China
dan Meksiko. Akibat kritik yang sama, banyak perusahaan yang menghabiskan
anggaran setiap tahunnya untuk memperbaiki kondisi lingkungan, mengurangi
pencemaran udara dan air. Contohnya adalah Dow Chemical yang dituduh
bertanggung jawab untuk membersihkan limbah beracun di Eropa Timur. Daftar
perusahaan yang bertanggung jawab atas kerusakaan lingkungan ternyata lebih
panjang dari yang diperkirakan.
Penelitian
menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang membayar untuk dapat menjadi “hijau.”
Maksudnya, perusahaan-perusahaan yang menerapkan tata laksana lingkungan dengan
baik juga cenderung lebih menguntungkan daripada pesaingnya, terutama dalam
industri yang dinamis. Temuan ini menunjukkan bahwa ada banyak cara yang dapat
dilakukan oleh manajer tanggung jawab sosial perusahaan untuk menggalakkan
keberlanjutan dan kualitas lingkungan sebagai bagian dari strategi
perusahaannya, bukan sebaliknya, dan memadukan perspektif lingkungan dan
keberlanjutan ke dalam praktek bisnis yang kemudian dapat meningkatkan kinerja
perusahaan secara keseluruhan.
Pedoman
OECD yang akan kita bahas kali ini adalah perlindungan terhadap lingkungan
setempat dari produk dan praktek yang tidak aman dan membantu mitigasi
kerusakaan yang terjadi. Perusahaan-perusahaan global, menurut hukum,
peraturan, dan praktek administrasinya di berbagai negara dimana perusahan
berada, diharuskan melakukan perhitungan dan perencanaan untuk melindungi
lingkungan dan menghindari masalah kesehatan yang disebabkan oleh kerusakan
lingkungan. Secara spesifik, perusahaan-perusahaan baik domestik maupun
multinasional diharuskan menerapkan aturan-aturan berikut ini (lihat Lampiran
B):
·
Manajer (dan perusahaannya) harus
memperkirakan dan memperhatikan dalam pembuatan keputusannya, konsekuensi
lingkungan dan dampak kesehatan yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan dalam
aktivitasnya.
·
Manajer harus bekerja sama dengan
pihak yang berwenang dengan memberikan informasi yang cukup dan tepat terkait
potensi dampak lingkungan dan dampak kesehatan yang terkait dengan lingkungan
dalam semua aktivitasnya dan menyediakan pakar lingkungan yang relevan bagi
perusahaan secara keseluruhan.
·
Manajer harus melakukan tindakan
pencegahan yang tepat dalam aktivitas perusahaan untuk meminimalkan resiko
kecelakaan dan kerusakan terhadap kesehatan serta lingkungan dan bekerja sama
dalam mitigasi dampak merugikan.
Dukungan terhadap
pedoman OECD
-mendukung tujuan tata laksana lingkungan
perusahaan
-membangun citra tanggung jawab perusahaan
di mata masyarakat setempat
-mendukung tujuan pembangunan ekonomi lokal dan keberlanjutan lokal
-menghindari tindakan hukum yang dapat
diambil oleh pemerintah lokal, kelompok advokasi, dan konsumen.
|
Tekanan
perlawanan terhadap pedoman OECD
-meningkatkan biaya pengeluaran untuk pengawasan dan pemenuhan
standar
-meningkatkan jumlah laporan dan beban akuntabilitas perusahaan
-menurunkan efisiensi operasi setidaknya dalam jangka pendek
-menurunkan pendapatan dan keuntungan perusahaan
|
Pedoman Tata Laksana Lingkungan
-memperhatikan semua aktivitas yang
berimplikasi terhadap kesehatan masyarakat mulai dari produksi,
transportasi dan pembuangan sampah
-menyediakan informasi kepada pemerintah
setempat mengenai dampak lingkungan aktivitas perusahaan
-melakukan tindakan pencegahan kecelakaan
dan membantu mitigasi kerusakaan apabila terjadi
|
Sensitivitas
lingkungan dan tanggung jawab sosial seringkali terancam oleh berbagai tekanan
di luar kendali perusahaan, yang kemudian dapat menyebabkan niat baik menjadi
mimpi buruk. Gambar 11.8 menunjukkan ancaman-ancaman ini. Salah satu kekurangan
yang diakibatkan adalah meningkatnya biaya untuk pembuatan peraturan dan
pelaporan. Dalam hal ini, niat baik pemerintah lokal – atau ketidakpercayaan
merek terhadap perusahaan multinasional – telah menyebabkan
perusahaan-perusahaan global angkat kaki dan memilih lokasi dimana peraturannya
paling ringan. Hal ini bukan berarti bahwa perusahaan tersebut secara sosial
tidak bertanggung jawab, namun banyak perusahaan yang berupaya melakukan hal
yang benar (menurut definisi mereka sendiri) dan memandang bahwa peraturan yang
berlebihan menyebabkan terbatasnya ruang gerak mereka untuk mencapai misi
perusahaan. Dengan kata lain, tantangan yang mendasar dalam kasus ini adalah
menyeimbangkan antara keuntungan bersama perusahaan dengan pemerintah lokal
yaitu terciptanya lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi serta kembalinya modal
investasi perusahaan. Tanpa kerjasama kedua belah pihak, kerjasama yang
berhasil akan sulit dibentuk.
Tekanan ini dapat dilihat dalam
kasus Tata Motor India yang pada tahun 2008 memutuskan untuk membangun pabrik
mobil untuk merakit Nano mereka yang
baru. Nano didesain untuk menjadi
mobil paling murah di dunia dan ditujukan untuk pasar negara berkembang. Dalam
pencarian lokasi yang sesuai, Tata dibujuk oleh pejabat lokal untuk menempatkan
pabrik senilai AS$300 juta di Singur, Benggala Barat. Fasilitas baru ini akan
membantu merangsang pembangunan ekonomi di kawasan yang sangat miskin ini
dengan membuka 10.000 lapangan kerja baru sekaligus 10.000 kesempatan kerja
untuk pemasok lokal. Meskipun demikian, pada saat pabrik hampir selesai
dibangun, petani setempat mulai menuntut perusahaan tersebut untuk pindah ke
lokasi lain. Mereka menolak memberikan tanah garapan mereka yang telah turun
temurun mendukung ekonomi lokal. Lebih dari itu, para petani bahkan mengaku
bahwa pemerintah setempat memaksa mereka menjual tanahnya. Meskipun mendapatkan
dukungan dari pemerintah dan memiliki reputasi sebagai perusahaan yang sadar
kondisi sosial dan lingkungan, namun para petani masih terus melakukan protes.
Akhirnya, Tata memutuskan untuk menutup pabriknya yang hampir selesai dan
memindahkan semuanya ke Sanand (dekat Ahmedabad) di Propinsi Gujarat.
Melihat pengalaman tersebut,
pemimpin perusahaan, Ratan Tata mengungkapkan, “Kami telah kehilangan banyak
waktu, sayang sekali, tapi saya pikir kami akan mampu menata apa yang perlu
kami lakukan di tanah Gujarat.” Meskipun perusahaan memiliki kekuasaan, uang
dan pengaruh untuk melanjutkan rencana awalnya, perhatiannya terhadap kondisi
lingkungan lokal – dan politik – membuat mereka memikirkan kembali keputusan
penempatan lokasinya. Akhirnya, Benggala Barat tetap menjadi kawasan pertanian
(sebagaimana yang diprioritaskan oleh warga setempat), sedangkan Gujarat
semakin mendekati ambisinya menjadi pemimpin pembangunan ekonomi India (yang
juga merupakan prioritas warga setempat). Selain itu, meskipun kehilangan
banyak uang dan waktu, Tata akan mendapatkan keuntungan jangka panjang
pemindahan ini dalam bentuk dukungan masyarakat setempat.
Catatan Manajer
Mengelola Dunia yang Tidak Sempurna
Sebagian besar dari apa
yang kita lakukan dan katakan selalu berhubungan dengan gagasan – dan juga
kondisi ideal – dari benar dan salah, baik dan buruk, serta menang dan kalah,
baik dalam urusan bisnis, kegiatan sosial, olahraga maupun kehidupan pribadi
kita. Para manajer pun demikian, sebagaimana dapat kita lihat dalam kasus
Halliburton di Nigeria. Contoh yang baik, yang mengecewakan dan terkadang
perilaku manajerial yang benar-benar illegal dapat kita saksikan di semua
lingkungan bisnis. Akibatnya, banyak pakar etika bisnis yang berpendapat bahwa
semua perusahaan, terutama perusahaan global, membutuhkan panduan etika untuk
membimbing tindakan organisasinya dengan cara yang sesuai dengan etika. Sedangkan
yang lain justru berpendapat sebaliknya: tidak ada yang benar atau salah, hanya
bagaimana pandangan orang yang melihatnya. Dikotomi pandangan ini menunjukkan
bahwa baik konsep mengenai benar dan salah maupun adanya pandangan kebenaran
universal di semua budaya, keduanya melekat dalam budaya dan oleh karena itu,
setiap budaya sangat mungkin memahami keduanya dengan cara yang berbeda. Dimana
posisi manajer global terdidik dalam hal ini? Kemungkinan di antara keduanya.
Konflik ini mencerminkan esensi dari manajemen yang baik, secara lokal maupun
nasional. Manajer harus secara konsisten bertindak meskipun tidak terdapat
informasi yang cukup dan menghadapi hasil yang belum pasti. Meskipun demikian,
mereka harus tetap bertindak dan mereka akan dinilai berdasarkan hasil yang
mereka dapatkan. Oleh karena itu, dalam hal perilaku etika, manajer benar-benar
membutuhkan panduan moral yang tidak sepihak dan terbuka.
Bab ini tidak membahas mengenai
dasar-dasar etika berbisnis secara umum namun pada etika bisnis tertentu yang
berhubungan dengan manajer dan organisasi. Sayangnya, banyak
pembahasan etika manajerial yang cenderung berfokus pada hal-hal yang negatif
seperti pengkhianatan terhadap kepercayaan, pelanggaran etika atau hukum. Jarang
sekali ada pembahasan yang bernada optims. Dengan menekankan pada aspek negatif
(beberapa menyebutnya dengan istilah ‘kenyataan’), banyak manajer yang justru
menghindar dari pembahasan tersebut bukan karena mereka tidak jujur namun
karena mereka melihat pembahasan tersebut cenderung menekankan pada
kesalahannya. Maksudnya, bagi para manajer, perilaku etis bukanlah batasan atau
penurunan kekuatan namun juga bersifat normal dan menguatkan. Perilaku etis
merupakan perwujudan yang terbaik dari semangat manusia, juga kesempatan bagi
perusahaan dan manajer-manajernya untuk berkontribusi dengan cara yang positif
untuk membentuk “kondisi peradaban manusia yang lebih baik” sebagaimana
disampaikan oleh Prof. Robert House (lihat Bab 3).
Telah jelas dalam pembahasan ini
bahwa bekerja dalam budaya yang beranekaragam memungkinkan manajer memahami
perspektif asing yang berbeda, juga praktek dan perilaku yang tidak jelas
ketika masalah hanya dilihat dengan kacamata perspektif negara asal. Misalnya,
agen penjualan asal Jepang yang bepergian ke Meksiko dapat mengamati bagaimana
transaksi bisnis dilakukan dengan cara yang berbeda dengan yang dilakukan di
negara asalnya. Ia akan melihat perilaku dan praktek yang tidak biasa – bahkan
mungkin illegal atau tidak etis – dibandingkan dengan apa yang ia alami di
negara asalnya (seperti pengumpulan uang suap secara terbuka atau mordida). Apa yang mungkin tidak mereka
lihat adalah bahwa banyak orang Meksiko yang juga melihat perilaku aneh – dan
mungkin juga tidak etis – pada saat mereka berkunjung ke Jepang atau negara
lain (seperti amplop putih yang berisi uang tunai yang diberikan kepada manajer
oleh kliennya). Dari kedua kasus ini, apakah uang tunai ini merupakan
penyuapan, komisi, ucapan terima kasih, kebaikan atau yang lain? Pada
kenyataannya, semakin sering manajer Meksiko dan Jepang ini bepergian ke negeri
luar negeri, mereka akan semakin jelas melihat pola perilaku yang mereka
pertanyakan – dan mereka kagumi – yang secara kolektif kemudian memperluas
kapasitas mereka untuk memahami mana yang hanya sekedar tidak biasa atau
berbeda dan mana yang benar-benar tidak etis.
Membedakan antara selera dan
preferensi pribadi, amanah hukum dan etika serta nilai-nilai dan kepercayaan
menjadi penting dalam memahami konteks nasional dan internasional. Perbedaan
tersebut tidak dapat akan dapat dilihat dalam konteks nasional dan tidak
sejelas perbedaan yang dapat dilihat oleh para manajer lintas budaya. Misalnya,
budaya islam yang membantu perpaduan bidang hukum dan etika – juga relijius. Yang
bersifat keagamaan dan yang sekuler seringkali dipadukan. Manajer yang bekerja
dalam kondisi seperti ini memandang kenyataan ini sebagai konteks atau latar
belakang bagi bisnis mereka. Pada saat yang sama, manajer Barat pada umumnya
bekerja dalam budaya yang berakar pada pemisahan kedua bidang ini (seperti
pemisahan lembaga agama dengan negara). Akibatnya, pada umumnya manajer Barat
akan dengan mudah melupakan proses sejarah yang menyebabkan pemisahan ini dan
yang menjelaskan mengapa pemisahan tersebut terjadi. Seorang manajer Barat yang
berkunjung ke Arab Saudi atau Iran akan melihat perbedaan in dan akan membantu
menambah pengalamannya sebagai seorang manajer. Hal yang sama juga akan terjadi
pada manajer Iran atau Arab Saudi yang berkunjung ke negara Barat. Kesimpulannya
cukup sederhana: perjalanan atau kunjung adalah guru yang baik bagi manajer
yang mau melihat, mendengar, berinteraksi, membandingkan dan belajar.
Perbedaan perilaku manajerial
lintas budaya ini lebih mudah dipahami ketika beberapa pengalaman pribadi yang
dibahas sebelumnya, diterapkan. Misalnya, makna dan peran universal serta partikular
kemungkinan tidak akan muncul dalam kondisi dimana manajer dan pembuat
keputusan memiliki latar belakang pandangan budaya yang sama (seperti
sekelompok manajer asal Thailand atau Ceko). Meskipun demikian, pemahaman
mengenai apa yang penting atau intinya (atau universal) dan apa yang kurang
penting atau bukan inti (atau partikular) justru sangat diperlukan dalam
pembuatan keputusan etika dari perspektif sejarah atau temporal (gagasan
mengenai etika abadi) juga dari perspektif spasial dan budaya.
Tanpa kerangka budaya ini,
pemahaman manajer mengenai mana yang universal dan mana yang partikular dalam
etika tidak akan lengkap. Bahkan, dinamika universal-partikular yang hadir
diantara budaya yang berbeda ini merupakan inti dari pemahaman yang lebih
menyeluruh mengenai siapa pihak utama yang terlibat dalam pertukaran etika dan
bagaimana mereka harus diperlakukan. Kesimpulannya, keseluruhan dari perilaku
etis dalam praktek korupsi dan penyuapan, hubungan kerja, transfer teknologi,
tata laksana lingkungan dan praktek bisnis pada umumnya tidak akan muncul
kecuali pada konteks dimana beragam budaya berinteraksi satu sama lain di
lingkungan global
Mengelola dalam
Tekanan Moral dan Etika
Dengan pemahaman ini,
kita akan menutup pembahasan dengan memeriksa pelajaran manajerial yang dapat
diambil baik dari perspektif kelembagaan maupun etika yang telah dibahas. Lebih
spesifik lagi, apa yang dapat dipelajari oleh para manajer global untuk
meningkatkan kemampuan mereka dalam berperilaku dengan penuh tanggung jawab
dalam dunia kerja? Menurut pembahasan, berdasarkan kepercayaan etika mereka dan
toleransinya terhadap kepercayaan orang lain, manajer global dan perusahaannya
memiliki tanggung jawab untuk bekerja dalam membentuk kesepahaman mengenai
definisi perilaku etis lintas budaya dan bangsa. Dalam upaya mencapai hal ini,
beberapa hal berikut ini akan berperan penting:
·
Memahami nilai dasar
perusahaan. Perusahaan yang akan melebarkan sayap di berbagai negara dengan
selera, praktek dan nilai yang berbeda, diharapkan berupaya maksimal untuk
menjaga nilai kepercayaan perusahaan yang mengutamakan kesatuan dan
kebersamaan, dan mengekspresikan keberagaman, pluralisme keanekaragaman dalam
kinerjanya di berbagai negara. Perusahaan perlu memahami batasan dan tingkat fleksibilitasnya
dalam melakukan bisnis di berbagai negara.
·
Memahami batas
universalisme. Perasaan kesatuan dan kebersamaan lintas budaya dan rekan bisnis (dan
mungkin juga harus) terletak pada apa yang dilihat dan bagaimana orang melihat
dan memahami konsep universal pada waktu dan tempat yang berbeda. Apakah ada
persetujuan antar pihak terkait mengenai kepercayaan dan nilai-nilai bersifat
universal? Dan dapatkah semua pihak melakukan pendekatan mirip dengan
universalisme yang tidak menggunakan asumsi bahwa apa yang dimaksud dengan universal
telah didefinisikan dengan lengkap dan sempurna? Sebaliknya, apa yang dipandang
universal pada umumnya mengalami perubahan (dan semoga semakin baik) seiring
berjalannya waktu dan ditempat yang berbeda pula, dan manajer perlu membentuk
universal yang tidak final namun terus menerus diperbaiki. Hal ini berarti
fleksibilitas dan toleransi manajer merupakan kunci keberhasilan lintas batas. Manajer
harus mengetahui bahwa meskipun semua partner memiliki prinsip yang
bertentangan dengan pencurian perusahaan, misalnya, perspektif mereka mengenai definisi
pencurian bisa jadi sangat bervariasi. Misalnya saja, apakah dapat disebut
pencurian apabila membawa persediaan kantor yang sederhana ke rumah? Pertanyaan
yang perlu diajukan para manajer adalah apakah hal ini dapat diterima atau
sejauh mana tindakan ini dapat diterima.
·
Memahami konteks
budaya yang mendasari perjanjian. Universal pada umumnya tidak memiliki keberlanjutan.
Universal tidak selalu tepat dan oleh
karena itu membutuhkan penyesuaian dengan dimensi ruang dan waktu. Dengan
demikian, universal harus selalu disesuaikan dengan budaya dimana hal tersebut
diterapkan. Memang universal tidak akan dipahami apabila dilepaskan dari
konteks budaya. Oleh karena itu, dalam upaya untuk membuat kesepakatan mengenai
standar atau prinsip universal, pemahaman mengenai beraneka ragam budaya sangat
diperlukan. Tanpa pemahaman dan penghormatan terhadap keanekaragaman budaya
ini, kesepakatan tidak akan dapat tercapai.
·
Memahami peran dan
latar belakang suatu kelompok tertentu yang terlibat dalam sengketa. Mengidentifikasikan
siapa saja yang terlibat dalam konflik masih belum cukup untuk mencapai
resolusi konflik. Kita harus memahami peran dan latar belakang masing-masing
pihak. Apa yang diharapkan perusahaan atau masyarakat dari mereka? Berapa
banyak peluang yang mereka miliki dalam tawar menawar? Dan strategi resolusi
konflik yang seperti apa yang dapat diambil? (Masalah ini dibahas dalam bab
10). Pengetahuan semacam ini menentukan dimana posisi masing-masing pihak dalam
konflik dan bagaimana berkompromi dengan mereka secara efektif. Tindakan ini
menuntut adanya kemampuan manajer untuk bernegosiasi dalam lingkungan yang
partikularistik, bukan universalistik.
·
Memahami konteks atau
dasar konflik. Kandungan atau isi dari pertukaran etika juga perlu memperhatikan
perbedaan budaya bahkan pada fase pertukaran awal, ketika manusia mencoba untuk
mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Apa sebenarnya yang menjadi
dasar dari konflik tersebut? Dasar-dasar ini seringkali tersembunyi di balik
masalah yang lain – yang seringkali bukan masalah sebenarnya. Tanpa pengetahuan
ini, kita hanya akan membuang-buang waktu membahas mengenai hal yang sebenarnya
tidak menjadi masalah sementara akar konfliknya masih belum terjamah.
·
Memahami beragam
jenis konflik budaya. Manajer harus mampu membedakan berbagai jenis konflik budaya dalam
organisasi. Konflik mengenai selera dan praktek, sistem hukum, kepercayaan dan
nilai-nilai tidak dapat disatukan ke dalam kategori yang sama. Konflik-konflik
ini memerlukan pendekatan yang berbeda dalam penyelesaiannya.
Mengelola dengan
Tekanan Hukum dan Kelembagaan
Sejak dikeluarkan,
pedoman OECD telah terbukti menjadi acuan yang dihormati oleh berbagai
perusahaan (lihat Lampiran B). Meskipun pedoman ini bersifat sukarela, pedoman
ini memiliki bobot sebagai hasil dari rekomendasi bersama negara-negara OECD.
Bersama dengan hukum nasional, pedoman ini menjadi bagian dari infrastruktur
legal atau setidaknya semi-legal yang mendukung penerapan perilaku perusahaan
global yang bertanggung jawab. Selain itu, bahasa pedoman ini juga telah
mempengaruhi aturan pelaksanaan yang lain untuk perusahaan global seperti
Deklarasi Tiga Pihak dalam ILO, serta Deklarasi dan Tata Laksana Perusahaan
Transnasional PBB. Meskipun demikian, ada beberapa isu yang harus disadari oleh
manajer global sebelum menghadapi situasi dimana pedoman menjadi beban:
·
Memahami peran utama
pedoman kelembagaan. Telah diketahui bahwa terdapat banyak pedoman yang lain yang menekan aktivitas
perusahaan-perusahaan, termasuk yang telah bersikap terbuka. Tentunya kemudian
banyak pertanyaan yang muncul. Pertaman, apakah pantas bagi pemerintah suatu
negara untuk berkumpul bersama merumuskan suatu pedoman ataukah lebih baik
mengizinkan perusahaan mengembangkan pedoman mereka sendiri dengan batasan
hukum nasional dan internasional? Kedua, pedoman OECD hanya merupakan sebuah
pedoman yang tidak memiliki status hukum yang kuat. Jika pedoman ini penting
bagi bisnis global, bukankah seharusnya dibuat suatu ketetapan dengan tujuan
menegakkan aturan ini? Kalau tidak ada, lalu bagaimana ketetapan ini dapat
ditegakkan?
·
Memahami keterbatasan
pedoman kelembagaan. Kita telah berusaha untuk meninjau suatu pendekatan yang bertujuan
untuk mendorong perilaku etika dan sosial yang bertanggung jawab perusahan
global. Sebagaimana yang ditegaskan oleh negara-negara anggota OECD, hal ini
bukanlah solusi yang sempurna melainkan langkah besar dalam memastikan tanggung
jawab perusahaan dalam dunia yang sangat beragam dan penuh dengan kompetisi
ini. Yang kemudian perlu dipertimbangkan adalah tingkat penerapan pedoman OECD
di masing-masing negara. Hingga kini, respon negara-negara Eropa sangat
positif, namun tidak demikian halnya dengan negara-negara lain.
·
Memahami kontroversi terkait
pedoman kelembagaan. Sebagaimana instrumen hasil negosiasi internasional yang lain, pedoman
ini terkadang mendapatkan kritik baik karena terlalu umum maupun terlalu rinci.
Beberapa pihak berpendapat bahwa mereka tidak akan bertindak sejauh itu dalam
memastikan perusahaan global bekerja sesuai hukum dan praktek nasional,
sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa pedoman ini melebihi standar yang
mereka miliki sehingga membatasi tujuan dan strategi bisnis yang sah. Debat
yang lain membahas mengenai tindakan lanjutan dimana ada yang berpendapat bahwa
perlu ada kelanjutan yang lebih kuat dan yang lain berpendapat bahwa hal ini
terlalu yuridis.
·
Memahami ketegangan
yang muncul akibat dorongan dan perlawanan terhadap “tindakan yang benar.” Dalam beragam
situasi, kita sering mempertanyakan bagaimana caranya kita tahu mana yang benar
yang harus dilakukan? Pedoman kelembagaan berupaya menentukan peraturan umum
bagi semua orang. Meskipun demikian, dalam membuat serangkaian aturan,
mengombinasikan perbedaan budaya tidaklah mudah. Sebagaimana yang terjadi
dengan persyaratan hukum, pedoman seringkali cenderung membahas mengenai
tindakan spesifik, padahal fleksibilitas sangat dibutuhkan. Oleh karena itu,
fakta bahwa hanya 30 negara yang meratifikasi pedoman OECD memunculkan
pertanyaan mengapa negara lain harus repot-repot menerapkan aturan yang tidak
berhubungan dengan peraturan dan perilaku setempat?
·
Memahami kapan
konflik perlu diselesaikan. Apabila muncul masalah terkait pedoman ini, tanggung jawab
penyelesaian terletak di pundak pemerintah negara dimana “perusahaan yang
bermasalah” – sebuah istilah yang masih diperdebatkan – ini berasal. Oleh
karena itu, efektivitas pedoman tergantung pada komitmen negara asal dan negara
lokasi perusahaan terhadap prinsip-prinsip OECD, ILO dan seterusnya.
Efektivitasnya sangat beragam dari satu negara dengan negara lain.
·
Memahami kurangnya
pendidikan atau kesadaran pedoman kelembagaan dalam pelatihan manajer. Kesimpulannya,
pedoman OECD jarang diajarkan atau bahkan disebutkan dalam sekolah bisnis,
bahkan yang terbaik, di seluruh dunia. Mengapa demikian? Apa yang kita ajarkan
pada generasi manajer masa depan terkait dengan pentingnya berperilaku dengan
penuh tanggung jawab dalam transaksi global?
ASSALAMUALAIKUM SAYA INGIN BERBAGI CARA SUKSES SAYA NGURUS IJAZAH saya atas nama bambang asal dari jawa timur sedikit saya ingin berbagi cerita masalah pengurusan ijazah saya yang kemarin hilang mulai dari ijazah SD sampai SMA, tapi alhamdulillah untung saja ada salah satu keluarga saya yang bekerja di salah satu dinas kabupaten di wilayah jawa timur dia memberikan petunjuk cara mengurus ijazah saya yang hilang, dia memberikan no hp BPK DR SUTANTO S.H, M.A beliau selaku kepala biro umum di kantor kemendikbud pusat jakarta nomor hp beliau 0823-5240-6469, alhamdulillah beliau betul betul bisa ngurusin masalah ijazah saya, alhamdulillah setelah saya tlp beliau di nomor hp 0823-5240-6469, saya di beri petunjuk untuk mempersiap'kan berkas yang di butuh'kan sama beliau dan hari itu juga saya langsun email berkas'nya dan saya juga langsung selesai'kan ADM'nya 50% dan sisa'nya langsun saya selesai'kan juga setelah ijazah saya sudah ke terima, alhamdulillah proses'nya sangat cepat hanya dalam 1 minggu berkas ijazah saya sudah ke terima.....alhamdulillah terima kasih kpd bpk DR SUTANTO S.H,M.A berkat bantuan bpk lamaran kerja saya sudah di terima, bagi saudara/i yang lagi bermasalah malah ijazah silah'kan hub beliau semoga beliau bisa bantu, dan ternyata juga beliau bisa bantu dengan menu di bawah ini wassalam.....
ReplyDelete1. Beliau bisa membantu anda yang kesulitan :
– Ingin kuliah tapi gak ada waktu karena terbentur jam kerja
– Ijazah hilang, rusak, dicuri, kebakaran dan kecelakaan faktor lain, dll.
– Drop out takut dimarahin ortu
– IPK jelek, ingin dibagusin
– Biaya kuliah tinggi tapi ingin cepat kerja
– Ijazah ditahan perusahaan tetapi ingin pindah ke perusahaan lain
– Dll.
2. PRODUK KAMI
Semua ijazah DIPLOMA (D1,D2,D3) S/D
SARJANA (S1, S2)..
Hampir semua perguruan tinggi kami punya
data basenya.
UNIVERSITAS TARUMA NEGARA UNIVERSITAS MERCUBUANA
UNIVERSITAS GAJAH MADA UNIVERSITAS ATMA JAYA
UNIVERSITAS PANCASILA UNIVERSITAS MOETOPO
UNIVERSITAS TERBUKA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
UNIVERSITAS TRISAKTI UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
UNIVERSITAS BUDI LIHUR ASMI
UNIVERSITAS ILMUKOMPUTER UNIVERSITAS DIPONOGORO
AKADEMI BAHASA ASING BINA SARANA INFORMATIKA
UPN VETERAN AKADEMI PARIWISATA INDONESIA
INSTITUT TEKHNOLOGI SERPONG STIE YPKP
STIE SUKABUMI YAI
ISTN STIE PERBANAS
LIA / TOEFEL STIMIK SWADHARMA
STIMIK UKRIDA
UNIVERSITAS NASIONAL UNIVERSITAS JAKARTA
UNIVERSITAS BUNG KARNO UNIVERSITAS PADJAJARAN
UNIVERSITAS BOROBUDUR UNIVERSITAS INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADYAH UNIVERSITAS BATAM
UNIVERSITAS SAHID DLL
3. DATA YANG DI BUTUHKAN
Persyaratan untuk ijazah :
1. Nama
2. Tempat & tgl lahir
3. foto ukuran 4 x 6 (bebas, rapi, dan usahakan berjas),semua data discan dan di email ke alamat email bpk sutantokemendikbud@gmail.com
4. IPK yang di inginkan
5. universitas yang di inginkan
6. Jurusan yang di inginkan
7. Tahun kelulusan yang di inginkan
8. Nama dan alamat lengkap, serta no. telphone untuk pengiriman dokumen
9. Di kirim ke alamat email: sutantokemendikbud@gmail.com berkas akan di tindak lanjuti akan setelah pembayaran 50% masuk
10. Pembayaran lewat Transfer ke Rekening MANDIRI, BNI, BRI,
11. PENGIRIMAN Dokumen Via JNE
4. Biaya – Biaya
• SD = Rp. 1.500.000
• SMP = Rp. 2.000.000
• SMA = Rp. 3.000.000
• D3 = 6.000.000
• S1 = 7.500.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
• S2 = 12.000.000(TERGANTUN UNIVERSITAS)
• S3 / Doktoral Rp. 24.000.000
(kampus terkenal – wajib ikut kuliah beberapa bulan)
• D3 Kebidanan / keperawatan Rp. 8.500.000
(minimal sudah pernah kuliah di jurusan tersebut hingga semester 4)
• Pindah jurusan/profesi dari Bidan/Perawat ke Dokter. Rp. 32.000.000