Memulai
dan membangun kemitraan global akan membahayakan perusahaan. Taruhannya sangat
tinggi, baik itu bagi perusahaan dan negosiator. Masalah akan dimulai ketika
negoisasi dilakukan oleh kedua belah pihak, karena setiap pihak pasti akan
mencoba untuk mengambil keuntungan dari biaya-biaya lain, misalnya dengan harga
yang lebih murah, distribusi yang royal, dan akses pasar. Apalagi jika kontrak
telah ditandatangani, maka masalah akan bertambah. Bagaimana cara kita untuk
mengatur kemitraan? Siapa yang bertanggung jawab? Bagaimana kita menumbuhkan
kepercayaan antar partner? Bagaimana
kita menciptakan hubungan yang harmonis?
A.
Manfaat Kemitraan
Global
Pada
kasus Hyundai Motor Company, perusahaan tersebut mengambil kesempatan dari
partnershipnya untuk menciptakan mobil dengan teknologi yang lebih canggih
untuk pasar global.
Ada
4 strategi yang digunakan Hyundai Motor Company, keempat strategi tersebut
diantaranya :
1)
Pertama, Hyundai membayar kompetitor Kia Motors untuk memperluas ruang
lingkupnya dalam pasar global
2)
Lalu, belajar dari partner Jermannya, Hyundai Motor Company fokus dalam
memperbarui dan memperbaik kualitas produknya secara terus-menerus
3)
Pada saat yang sama, Hyundai juga mendirikan studio desain dan pusat penelitian
di US, Eropa, dan Jepang, dan menginvestasikan lebih dari 5 milyar USD dalam
pengembangan model-model barunya.
4) Akhirnya, Hyundai membuka fasilitas
produksi barunya di luar negeri, dengan target produksi sebanyak 5 juta buah
mobil.
Sebagai
hasil dari upayanya ini, menurut survey, Hyundai Motor Company mendapat
penghargaan ‘the best quality cars sold in the world’. Sekarang, Hyundai Motor
Company adalah perusahaan mobil terbesar ke-6 di dunia.
Kemitraan
global membantu perusahaan-perusahaan untuk :
1)
Meningkatkan pertumbuhan dan pengembangan produknya
2)
Memperoleh teknologi-teknologi baru
3)
Mengambil keuntungan dari nilai tukar antar negara. Dengan ini, maka perusahaan
dapat mengurangi biaya aktivitas bisnis di luar negeri.
4)
Mengurangi biaya operasi , meningkatkan produktivitas dengan biaya tenaga kerja
yang lebih rendah, dan pembatasan kebijakan tenaga kerja lebih sedikit
5)
Lebih dekat dengan klien-klien baru. Contohnya, ketika perusahaan menerima
kontrak untuk memberikan stock atau pelayanan untuk perusahaan lain,
6)
Diversifikasi operasi dan pasar pada setiap wilayah-wilayah lain di dunia,
sesuai dengan keinginan perusahaan.
B.
Tantangan dalam
Kemitraan Global
Banyak
sekali kasus kegagalan pada perusahaan-perusahaan dalam menjalankan kemitraan
global. Salah satu contoh nyata yang terjadi adalah pada perusahaan Jepang yang
bekerjasama dengan perusahaan Spanyol. Para manajer asal Jepang ini sama sekali
tidak memiliki persiapan yang matang dalam menghadapi kebudayaan orang Spanyol
, khususnya dalam menjalankan bisnis. Di sisi lain, manajer Spanyol pun bingung
dengan cara bekerja orang Jepang.
Masalah
utama yang dihadapi keduanya adalah dalam bahasa. Beberapa orang Jepang ini
dapat berbicara dalam Bahasa Spanyol, sedangkan tidak ada satupun dari pihak
Spanyol yang bisa berbicara dalam Bahasa Jepang. Sehingga, pihak Jepang menjadi
frustasi karena mereka tidak bisa mengekspresikan perasaannya dalam Bahasa
Inggris, sedangkan pihak Spanyol frustasi dengan pihak Jepang yang memiliki prinsip
‘bisnis setiap saat’.
Orang-orang
Jepang ini pun kurang menghargai budaya Spanyol yang memiliki budaya makan
dengan waktu yang terlalu lama sehingga mengurangi waktu untuk bekerja. Masalah
juga timbul ketika masing-masing negara memiliki cara berbeda dalam membuat
keputusan. Pihak Jepang membuat keputusan dengan waktu yang singkat, sedangkan
partnernya, pihak Spanyol, memakan waktu yang cukup lama dalam pengambilan
keputusan karena pembuat keputusan ditentukan oleh para manajer seniornya yang
terlalu kritis. Hal ini menyebabkan pihak Jepang tidak sabar dalam menunggu
hasil keputusan.
Kasus
lain terjadi pada kemitraan orang Amerika dengan orang Swedia. Para manajer
asal Amerika ini membuat jadwal rapat pada bulan Agustus, dimana bulan tersebut
merupakan waktu liburan untuk orang-orang Spanyol. Manajer Spanyol mengatakan
bahwa mereka lebih senang bekerjasama dengan perusahaan asal Eropa karena
orang-orang Eropa cenderung lebih cepat beradaptasi dengan budaya dan
lingkungan baru.
Manajer
eksekutif Swedia mengatakan, “Saya menyimpulkan, Amerika lebih bisa melakukan
pendekatan dalam banyak hal. Mereka mencoba untuk mengatasi masalah yang
muncul. Sedangkan orang Swedia lebih lambat pada tahap awal. Mereka hanya duduk
dan memikirkan masalah-masalah, dan begitu mereka cukup yakin bisa
mengatasinya, kemudian mereka akan segera mulai beraksi”
C. Negotiation Patterns Across
Cultures
Untuk
menelaah pola-pola budaya negosiasi di berbagai negara, studi dilakukan terhadap
manajer dari tiga negara: Jepang, Brazil, dan US. Dalam studi tersebut, para
manajer dari ketiga negara tersebut ditempatkan dalam sebuah sesi negosiasi
selama 20 menit dan peneliti menghitung berapa banyak dari masing-masing
manajer menggunakan strategi verbal maupun non-verbal dari taktik bernegosiasinya.
Di bawah ini, merupakan hasil dari pengkajian yang
dilakukan terhadap manajer-manajer dari ketiga negara tersebut. Meliputi seberapa
sering manajer yang satu menyanggah manajer yang lain dan apa hubungan hal
tersebut dalam hal pengaruh perbedaan budaya saat bernegosiasi.
1)
Pola
Negosiasi di Jepang
Pekerja di Jepang
berpegangan pada shinyo. Shinyo merupakan faktor kunci yang
mereka terapkan dalam menentukan apakah harus atau tidak harus berhubungan
bisnis dengan orang tertentu. Shinyo merujuk
pada kesamaan kepercayaan diri, rasa saling percaya, dan penghargaan yang harus
dimiliki kedua belah pihak atau masing-masing agar sebuah hubungan bisnis dapat
berhasil. Konsep ini mungkin terdengar mudah namun dalam pelaksanaannya banyak pihak
asing di luar Jepang yang merasa kesulitan untuk mengimplementasikannya. Hal
ini salah satunya disebabkan oleh kepercayaan yang kuat dari orang Barat terhadap
kekuatan dari perjanjian legal melebihi kepentingan pribadi.
2)
Pola
Negosiasi di US
John Graham dan
Yoshihiro Sano dalam bukunya Smart
Bargaining, menggambarkan tipikal negosiator Amerika sebagai orang yang kepercayaan
diri dan independensinya sangat tinggi. Negosiator Amerika dideskripsikan
sebagai orang yang lebih memilih mengerjakan semuanya sendiri tanpa bantuan
orang lain, tidak peduli terhadap pandangan buruk orang terhadap dirinya,
efisien dan tidak suka membuang-buang waktu, dan dikenal tidak mau berbicara
bahasa lain kecuali bahasanya sendiri; bahasa Inggris. Memang tidak semua
negosiator Amerika bersikap seperti itu namun mayoritas mempunyai perilaku yang
demikian karena budaya yang sudah melekat di negaranya.
3)
Pola
Negosiasi di Brazil
Setelah diteliti,
budaya Brazil paling berbeda jauh dengan pola negosiasi yang ditunjukkan para
manajer asal Jepang. Banyak perusahaan multinasional yang melakukan bisnis di
Brazil, oleh karena itu penting sekali memahami bagaimana bernegosiasi dengan orang
Brazil bagi para manajer global. Dengan kata lain, negosiator internasional
yang berhadapan dengan orang Brazil akan lebih mungkin untuk berhasil bila
mereka mengetahui sebagian kecil dari negara Brazil sendiri, budayanya, caranya
dalam melakukan bisnis, dan gaya bernegosiasinya.
Selama bernegosiasi, para manajer dari Brazil terlihat
sangat intens berinteraksi dengan lawan bicaranya atau bakal calon partnernya.
Mereka cenderung percaya bahwa di luar apapun yang terjadi selama dan setelah
negosiasi, menambah teman dan menikmati hidup merupakan hal yang penting. Sikap
semacam ini membawa mereka untuk lebih senang menghindari konflik dan berusaha
sebisa mungkin menyenangkan pihak lain. Hal itu berakibat pada kecenderungan
mereka untuk mengunakan bahasa tidak langsung, menyembunyikan informasi yang
tidak menyenangkan, membuat janji-janji palsu, dan kadang mempermanis sesuatu yang
jauh dari kenyataan sebenarnya.
4)
Hasil
garis besar dari strategi negosiasi di Jepang, Brazil, dan US
1) Jepang
1. Lebih
mementingkan keuntungan jangka panjang dna biasnaya mengesampingkan kepentingan
pribadi
2. Enggan
mengambil resiko
3. Gaya
berkomunikasinua dengan berbicara tidak langsung dan sering menggunakan bahasa
teknis
4. Mengesampingkan
sensitivitas emosional
5. Membuat
keputusan berdasarkan perhitungan biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang akan
didapat, terlebih untuk jangka yang panjang
6. Bagaimanapun
keadaannya, tidak boleh mempermalukan pihak lain dalam bernegosiasi
7. Menghindari
konflik yang serius, oleh karena itu menghindari perdebatan
2) Brazil
1. Dalam
bernegosiasi, yang terpenting hasilnya saling menguntungkan
2. Menghindari
resiko
3. Dalam
berkomunikasi kadang penyampaiannya emosional, malah sering berlebihan
4. Menghargai
sensitivitas emosional
5. Melihat
aspek emosional pribadi dan pertimbangan keluarga dalam membuat sebuah
keputusan
6. Sebisa
mungkin tidak mempermalukan pihak lain dalam bernegosiasi
7. Menghindari
konflik yang serius, oleh karena itu menghindari perdebatan
3) US
1. Lebih
mementingkan keuntungan jangka pendek, seringkali bersamaan dengan kepentingan
pribadi untuk negosiator
2. Berani
mengambil resiko
3. Berbicara
langsung ke intinya, straightforward,
kadang berlebihan
4. Menghindari
bersikap emosional, oleh karena itu para negosiator kadang menghindari hubungan
yang terlalu dekat dengan pihak lain
5. Membuat
keputusan berdasarkan biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat yang akan
diperoleh, terutama untuk jangka yang pendek
6. Beranggapan
bahwa mempermalukan pihak lawan kadang dapat membawa keuntungan dalam
bernegosiasi
7. Kadang
berdebat, terlebih saat merasa dirinya terancam sebagai bentuk dari perlawanan
D. Building
Global Partnerships
1) Kriteria
untuk memilih partner global
Terdapat lima faktor
dalam memilih partner global, yaitu:
1. Solid compatibility of strategic
goals and tactics
2. Complementary value-creating
resources
3. Complementary corporate cultures
4. Strong commitment to the
partnership
5. Strong philosophical and
operational compatibility
2) Mempersiapkan
negosiator global
Terdapat lima
pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Mulai
dengan memikirkan hasil jangka panjang dari perjanjian yang telah disepakati
2. Membantu
pihak lain untuk mempersiapkan negosiator globalnya. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa bila salah satu pihak tidak bisa memenuhi janjinya, kedua
belah pihak akan sama-sama gagal
3. Penting
sekali mendapatkan persetujuan dari semua pihak karena jika tidak akan menjadi
masalah di kemudian hari
4. Sampaikan
pesan dengan jelas. Menyampaikan informasi secara setengah-setengah atau menyembunyikan
sebagian mungkin memang dapat membawa keuntungan, tapi akan bermasalah pada
implementasinya nanti jika ada pihak yang merasa tertipu
5. Me-manage hasil negosiasi sebagai proses
berbisnis. Menandatangani kontrak hanya merupakan langkah awal, sementara
implementasinya membutuhkan persiapan yang hati-hati dan evaluasi pasca
negosiasi.
3) Mengatur
proses negosiasi
Negosiator global yang
sukses adalah mereka yang mampu merasa nyaman dengan iklim budaya yang
berbeda-beda dan mampu membangun dan menjaga hubungan pribadi dengan orang
lain.
Banyak kemampuan yang dibutuhkan dari seorang negosiator
global. Salah satunya yang paling kontroversial adalah kemampuan berbahasa
asing. Lebih spesifiknya, seberapa pentingkah untuk memiliki kemampuan
dwibahasa atau lebih? Juga ketika bernegosiasi dengan orang asing, bahasa apa
yang sebaiknya digunakan?
Pertanyaan yang sering muncul adalah apakah bahasa
Inggris saja sudah cukup untuk mengakomodir semua kepentingan berbahasa bagi
semua negara. Merupakan sebuah hal yang kontras jika melihat dari masih
banyaknya orang yang mempelajari bahasa lain selain bahasa Inggris.
Untuk
mengatasi masalah tersebut, para ahli memaparkan beberapa strategi untuk membuat
sebuah negosiasi dapat berhasil, yaitu sebagai berikut:
1. Lebih
berkonsentrasi pada membangun hubungan jangka panjang dengan pihak lain
daripada kontrak jangka pendek
2. Fokus
pada memahami ketertarikan organisasi dan pribadi dan tujuan di balik penawaran-penawaran
yang telah dipaparkan
3. Menghindari
stereotip dan generalisasi budaya. Dua orang bisa berasal dari negara dan
budaya yang sama, namun sebagai individu mereka mempunyai karakternya
masing-masing
4. Lebih
sensitif terhadap durasi. Beberapa orang lebih mengedepankan sikap bersabar
dalam membuat sebuah perjanjian sementara yang lain menuntut keputusan yang
cepat atau mereka akan beralih ke pihak yang lain
5. Bersikap
fleksibel dalam negosiasi. Dengan pertimbangan bahwa keadaan, informasi, dan
kesempatan dapat berubah sewaktu-waktu
6. Melakukan
perencanaan apapun dengan matang dan hati-hati
7. Belajar
untuk mendengarkan, tidak hanya bicara. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk
memahami konten dan konteks dari sebuah pesan yang ingin disampaikan pihak lain
E.
Managing Global Partnerships
Dalam
sebuah kerja sama, terdapat beberapa poin dari mekanisme kontrol yang biasa
digunakan untuk memastikan pemenuhan dari apa yang telah disepakati, yaitu:
1) Kebijakan
dan prosedur yang jelas dari kesepakatan tertulis
2) Ketentuan
kontrak dan persyaratan dari kedua belah pihak
3) Perjanjian
di muka pada personil kunci yang akan terlibat dalam perjanjian kerja sama
4) Prediksi
ke depan dari perusahaan atau dewan direktur dari anak perusahaan
5) Kontrol
anggaran dan penggunaan prosedur dan prinsip-prinsip akuntansi yang telah
disepakati
6) Mengembangkan
hubungan interpersonal yang jujur dan terbuka dari para pemain kunci dalam
negosiasi
7) Kebijakan
yang jelas mengenai alokasi dan utilisasi sumber daya dengan pemantauan
berkelanjutan dari kedua belah pihak
KESIMPULAN
Menciptakan kerjasama global
bukanlah yang mudah. Masalahnya tidak hanya terletak pada proses partnering, namun juga dalam membuat
kerja sama tersebut sukses untuk jangka panjang. Dalam mewujudkan hal itu, ada
empat tantangan yang harus dihadapi manajer global yaitu:
1) Rethinking negotiation and
partnerships
Permasalahan
utamanya adalah motif dari kedua belah pihak dalam mengejar hasil kerja sama. Ada
pula kemungkinan bahwa terdapat motif lain dan tujuan yang terlibat di dalam
proses namun gagal dikomunikasikan atau tidak terbaca
2) Bulding mutual trust
Kepercayaan
dalam kerja sama global sangat diperlukan. Telah terbukti bahwa jika kedua
belah pihak tidak saling percaya maka akan sulit mencapai kesuksesan jangka
panjang.
3) Aligning corporate cultures
Tantangan
yang paling sering dihadapi dalam menciptakan kerjasama global adalah upaya
untuk menyatukan dua atau lebih organisasi dengan latar belakang budaya yang
berbeda-beda.
4) Managing conflicts between partners
Ahli
manajemen konflik Nike Carstarphen mengemukakan beberapa hal yang harus
dilakukan dalam menghadapi konflik, yaitu:
1. Mempersiapkan
masing-masing orang membina sebuah sikap yang positif dan terbuka lewat
berdialog, fokus pada persamaan, bukan perbedaan.
2. Mempersiapkan
proses artinya secara penuh melakukan penilaian terhadap sebuah situasi,
mengidentifikasi pihak-pihak yang harus hadir, dan intervensi yang tepat untuk menyelesaikan
konflik.
3. Menelisik
masa lalu dan masa sekarang, akar permasalahan dari konflik, dan dinamika
terkini untuk membantu mengatasi asumsi-asumsi yang berhubungan dengan budaya.
4. Meminta
masing-masing individu untuk memikirkan masa depan bersama,. Dengan demikian,
kreativitas dan imajinasi dapat membantu untuk mencari solusi dalam
menyelesaikan konflik.
5. Memecahkan
masalah tidak hanya soal membayangkan kemungkinan-kemungkinan tapi juga soal
pengambilan tindakan. Maksudnya semua pihak harus mengidentifikasi aksi yang
konkrit untuk meredakan konflik dan mengambil tindakan nyata, mengevaluasi
keefektivan dari tindakan tersebut.
6. Berkonflik
merupakan usaha yang memakan energi. Maka dari itu penting sekali untuk sejenak
berhenti, untuk introspeksi dan memperoleh energi lagi sebelum proses dapat
berlanjut.
7. Jangan
melupakan hubungan yang telah terbangun sebelum konflik terjadi.
No comments:
Post a Comment